Part VIII

485 58 27
                                    

Aku baru saja memasuki restaurant yang cukup mewah bergaya italia di sudut kota London siang ini. Kepalaku kemudian menoleh ke arah kanan dan kiri mencari seseorang yang memintaku menemuinya disini.

“Selamat siang, nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanya salah satu pelayan.

“Oh ya, saya mencari seorang teman saya.” Jawabku.

“Maaf, atas nama siapa?” tanyanya lagi.

“Niall Horan.”  

Sang pelayang kemudian menuntunku ke dalam hingga menemukan satu pintu bertuliskan “Private”. Dibulakah pintu itu lalu dapat kulihat Niall sudah duduk di salah satu meja didalamnya.

“Hai, maaf aku terlambat.” Kataku.

Niall beranjak dari duduknya, “Tidak masalah, Sam. Aku juga baru saja tiba. Ayo duduk.” Aku mengikuti perintahnya.

“Terima kasih.”

“Aku sudah memesankan sesuatu untukmu. Semoga kau suka.” Katanya.

“Ah sekali lagi, terima kasih.”

“Dengan senang hati.” Niall mengedipkan satu matanya sedangkan aku hanya tertawa kecil, “Kau terlihat cantik dengan pakaian itu.” sambungnya lagi.

Aku mengangkat salah satu alisku, “Benarkah? Kau berlebihan, ini hanya kemeja biasa.” Jawabku.

“Aku serius. Kau terlihat...beda.”

“Beda?”

“Biasanya kau terlihat rapih di kantor. Oh, kau seorang sekretaris, huh?” Ia tertawa.

“Jadi menurutmu pakaianku ini tidak rapih?” tanyaku membuat Niall berhenti tertawa.

“Bukan, bukan itu maksudku. Maksudku biasanya kau terlihat formal dalam berpakaian dan sekarang kau tidak. Kau lebih santai dan itu bagus.” Jelasnya.

Aku tertawa karena tingkah Niall, “Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku mengerti maksudmu.” Kataku membuat Niall kembali tertawa.

Makanan kami tiba diantar oleh seorang pelayan restaurant. Niall memesankanku bruschetta, sedangkan ia sendiri memesan chicken parmigiana. Aku menghela napas pelan mengetahui bahwa Niall memesankanku makanan ringan karena jujur saja, aku tidak merasa lapar.

“Selamat makan, Sam.” Niall mulai memotong bagian-bagian dari ayam di hadapannya.

“Selamat makan.”

Beberapa menit  berlalu dengan suara dentingan garpu maupun sendok milikku juga Niall. Tidak lupa dengan tawa kecil diantara kami yang diciptakan oleh Niall. Ia selalu saja tertawa, padahal aku yakin celotehan yang keluar dari mulutku sama sekali tidak lucu, bahkan tidak jelas. Tapi ia tetap saja tertawa. Entahlah, mungkin ia memang hobi tertawa.

“Jadi setelah ini kita mau kemana?” tanyaku.

“Aku ingin membawamu ke suatu tempat.” Jawab Niall.

Aku kembali mengangkat satu alisku, “Kemana?”

“Tenang saja, aku tidak akan menculikmu.” Salah satu mata Niall kembali berkedip.

Selesai makan, Niall membawaku ke mobilnya yang terparkir di lobby. Mobil sport hitamnya melaju dijalanan London yang sore itu cukup ramai. Aku terus memfokuskan pandanganku ke jalan, memperhatikan tiap jalan yang kulewati berharap mengetahui kemana Niall akan membawaku. Namun apa daya, aku belum hapal betul jalanan di kota ini.

Sebenarnya Niall mau membawaku kemana?

Sampai akhirnya Niall membelokkan mobilnya ke salah satu gedung dan kembali memarkirkannya di lobby. Aku turun dan mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang beredar di otakku sekarang.

Escape The FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang