Walaupun artikel singkat itu sudah dibacanya beberapa hari yang lalu, namun nampaknya perasaan Lily masih saja berkabut. Dibaca berulang kali pun isinya tetap tak berubah. Mungkin sekarang sudah saatnya gadis itu mencairkan hatinya yang bak batu karang itu, mencoba berdamai dengan waktu.
Toh, bagaimanapun wanita itu tetap ibunya. Apapun yang terjadi di antara mereka tak akan pernah bisa mengubah status itu.
Isi berita di salah satu harian beroplah besar di Lampung itu begitu mengejutkan, hingga Lily tak sempat lagi mencernanya dengan sempurna.
Foto lamanya yang sedikit buram terpampang di pojok artikel, dengan judul yang fantastis: 'LILY, PULANGLAH! IBU SAKIT'. Di dalam artikel tertulis sedikit deskripsi tentang dirinya saat terakhir kali terlihat, sebelum menghilang sekian lama, disertai secuplik latar belakang kehidupannya.
Tentu saja bagian yang paling penting itu--penyebab mengapa gadis itu lari dari rumah--tidak dicantymkan di sana. Melihat itu, Lily hanya mencibir.
Saat pertama kali membaca artikel itu hatinya nampak masih sekeras batu karang. Dia tak hendak menunjukkan seolah-olah tekadnya mulai terkikis hanya karena satu berita singkat itu. Sakit hatinya masih terlihat jelas.
Tapi, bagaimana jika berita itu benar dan ternyata ibu betul-betul sakit? Takkan menyesalkah dia?
Lily terhenyak di atas sofa empuk di sudut ruangan yang menjadi ruang istirahat bagi para penyanyi di cafe 'Light Purple'. Dinginnya udara malam beradu dengan lembabnya hembusan AC, tapi gadis berambut shaggy itu tak kunjung menutupi bahunya yang terbuka.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
"Sepuluh menit lagi, Ly. Siap-siap ya!"
Lily mendongakkan kepala dengan malas. "Iya, Mbak. Sebentar lagi saya keluar."
Wanita berperawakan tinggi besar yang sering disapa sebagai Mbak Kirey itu menatap Lily penuh selidik. Cukup lama mengenal Lily--dialah yang pertama kali menemukan bakat luar biasa Lily yang belum terasah, lalu memberinya kesempatan menyanyi di cafe 'Light Purple'--Kirey seperti merasakan ada sesuatu yang salah dengan gadis didikannya itu.
"Are you okey, honey?"
Lily hanya menyahut singkat,"Yeah, I'm fine."
Mengangkat bahu seolah kembali tak peduli, Kirey meninggalkan Lily kembali sendiri.
Lily menghela nafas. Tak terasa sudah hampir dua tahun dia mengais rezeki di Bandar Lampung. Berarti sudah selama itu pula dia tak pulang ke Bengkulu. Tak berjumpa dengan ibunya, suami ibunya, dan...Arya.
Sejenak Lily mengatupkan matanya saat nama itu terlintas.
Tapi sekarang Lily tak punya waktu untuk bernostalgia atau mengaharu biru meratapi yang terjadi. Segera ditekannya sederet nomor yang tercetak di sebuah kartu nama yang sedari tadi hanya dibolak-balik di sela jemarinya yang lentik.
"Halo..."
"PO Sinar Bengkulu, selamat malam. Ada yang bisa dibantu?"
"Enggg... Bis yang berangkat ke Bengkulu besok masih ada yang kosong?"
"Masih..masih.. Pesan untuk berapa orang?"
"Satu orang saja."
"Atas nama...?"
"Lily, Mas. Meylita Rosa."
"Oke, Mbak Lily. Satu orang untuk besok siang, berangkat pukul 12.30. Tapi jam 12 pas sudah hadir di pool ya, Mbak."
"Oke. Trims."
Lily mengakhiri percakapannya, lalu berdiri dan sejenak merapikan gaunnya, gaun panjang bertabur payet dengan siluet agak terbuka. Kemudian dengan yakin dia melangkah keluar, menuju panggung yang senantiasa menghujaninya dengan gemuruh tepukan.
Mungkin ini kesempatan terakhirnya untuk menikmati sanjungan penuh kekaguman dari para penggemarnya. Bahkan kini Lily tampak tak ingin berspekulasi tentang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
9 hours (9 jam di Liwa)
General FictionPara penumpang Lampung-Bengkulu yang membawa masalah pribadi masing-masing, disatukan oleh kejadian dramatis selama 9 jam di Liwa.