6. Sinar Bengkulu (Kisah Harman)

13 2 0
                                    

Praaanggg....!!!

Entah itu sudah piring ke berapa yang dilempar oleh istrinya, tapi Harman masih menyumbat telinganya dengan bantal guling. Matanya masih terasa berat akibat baru pulang pukul tiga subuh tadi. Di tengah gaduhnya suara sound system dari rumah tetangganya yang berdempetan dinding, serta tangis anak-anaknya yang berebut pisang goreng, Harman berusaha untuk terlelap.

Namun tak urung pintu kamar yang ditendang hingga terpentang lebar mengagetkannya. Rasa kantuknya menguap entah ke mana. Dasar wanita sialan, umpatnya dalam hati.

"Apa-apaan kamu ini, Ti!" bentak lelaki itu seraya mengucek matanya yang terlihat merah.

"Heh! Abang jangan pura-pura nggak tahu ya! Semalam abang ke mana aja?? Baru pulang subuh tadi!"istri Harman tampak berkacak pinggang di depan pintu kamar yang terbuat dari kayu murahan dan sudah keropos di sana-sini.

Harman melempar gulingnya ke samping, mencoba duduk di pinggir dipan kayu yang sama tuanya dengan pintu lapuknya. Kontan saja muncul suara derik yang tak enak didengar.

"Ya kerja lah! Kamu kan tahu kerja sopir itu kayak apa? Pulang pagi itu biasa, Ti!"

Tuti menepiskan tangannya ke udara, tanda tak percaya. Sudut bibirnya sedikit naik, wajahnya masih tampak garang.

"Sudahlaaahh...bukannya aku ini bodoh, Bang! Kata si Ucok jadwal Abang bawa bus itu besok siang, bukannya kemarin. Jadi, ke mana aja seharian kemarin, Bang?? Berjudi di lapo tuak atau tidur dengan si Ayu, gundikmu itu??? Jawab, Bang!"

Harman mengusap rambutnya yang gondrong sambil menggerutu panjang pendek dalam hati. Sialan betul si Ucok itu! Ngapain juga dia cerita-cerita dengan Tuti?

"Nggak perlu didengar semua bualan si Ucok itu, Ti.  Memang senang betul dia kalau melihat kita ribut. Bahagia dia kalau aku susah. Aku cuma minum saja di lapo tuak yang biasa itu. Percayalah!"

"Kalau cuma minum, kenapa tadi harus bohong segala? Pasti lebih dari itu kaan??"

Walaupun yang dituduhkan Tuti itu benar, tapi Harman tak hendak mengiyakan. Bisa-bisa lebih banyak piring yang melayang. Sekilas terpikir di benaknya untuk mengganti piring gelas di rumahnya dengan piring kaleng saja. Namun segera diurungkannya begitu dia sadar bahwa bunyi piring kaleng yang dibanting itu tak kalah hebohnya. Mungkin sebaiknya piring plastik saja, pikirnya kembali.

Dengan kesal bercampur salah tingkah, Harman bangkit dari tempat tidurnya, menyisakan suara derik kayu kembali.

"Terserah kamu sajalah, Ti!"

Setengah sempoyongan lelaki berkulit legam itu mencoba menerobos pintu,  kamar yang langsung dihalangi oleh tubuh istrinya yang sudah tidak langsing lagi itu. Mungkin hampir 25 kilo bertambahnya selama mereka menikah hampir sekian tahun lamanya.

"Bang, mau ke mana lagi?"

Tapi Harman pura-pura tak mendengar. Sambil mengerjapkan matanya yang setengah mengantuk, diraihnya jaket kulit lusuh yang tersampir di balik pintu kamar. Lalu dia melangkah keluar, menepis istrinya hingga terpojok ke dinding.

Tuti mengepalkan tangannya penuh kesal melihat kelakuan suaminya itu. Bukan sekali ini Harman mengacuhkan dia seperti itu. Sudah untuk ke sekian kali pula ia mendengat kabar tak sedap tentang kelakuan suaminya itu.

Tapi tampaknya tak ada tanda-tanda kalau laki-laki itu mau berubah.

Di luar, tanpa mencuci muka lagi, Harman segera menaiki motor bututnya, yang suka terbatuk-batuk jika dipacu terlalu kencang.

Tidur di pool PO Sinar Bengkulu menjadi tujuannya. Tampaknya lebib menyenangkan, terbebas dari teriakan istrinya atau tangisan anak-anaknya yang masih balita.

Jika beruntung, mungkin dia bisa memimpikan senyum manis Ayu, primadona para supir bus dan truk. Sungguh parasnya sangat jauh berbeda dari istrinya yang tampak jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

9 hours (9 jam di Liwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang