Ratna mengemasi helaian baju terakhirnya. Sejenak ia menatap puas akan hasil kerjanya selama dua jam terakhir. Setelah berjuang dengan segala upaya, akhirnya semua pakaian di dalam lemarinya berhasil dimuat ke dalam koper berukuran super besar miliknya. Berarti tugasnya tinggal satu lagi, yakni mengemasi alat-alat prakteknya.
Ratna menggigiti bibirnya yang sudah tampak kering, menampakkan raut kebimbangan. Seakan-akan hatinya bimbang akan kepulangannya kali ini, apakah akan membuka luka batinnya saja.
Untuk kesekian kalinya gadis berambut sepunggung itu hanya memutar-mutar ujung stetoskopnya saja, tanpa berusaha memasukkannya ke dalam tas hitam yang sedari tadi bertengger manis di atas mejanya. Meja kerja yang terbuat dari kayu jati itu tampak tua, namun tetap berkesan kuat, bahkan malah terlihat sedikit antik.
Ratna meraih pigura foto dari atas meja itu. Pigura minimalis itu membingkai dengan cantik wajahnya dengan wajah Ranti. Dua wajah yang serupa satu sama lainnya. Hanya saja senyum milik Ranti terukir lebih manis.
Ratna menghembuskan nafasnya kuat-kuat, seolah mencoba menyangkal bahwa Ranti adalah alasan utamanya untuk kembali ke Bengkulu.
Sesaat gadis itu seperti meragukan dirinya sendiri. Berulang kali dia membatin. Betulkah aku tak sengaja? Kalau tidak, mengapa rasa bersalah ini tak mau hilang juga?
Dengan malas Ratna akhirnya memasukkan stetoskop itu. Disusul dengan seperangkat partus set miliknya. Sudah lebih dari setahun alat-alat itu tersimpan dengan rapi dan cermat di dalam lemari prakteknya, tanpa digunakan. Sejak kejadian Ranti.
Tangannya yang lentik meraih telpon genggam miliknya. Terdengar nada sambung setelah ia menekan sejumlah nomor yang sudah lama tak dihubunginya itu.
"Halo.."
"Ya, halo. Selamat siang, PO Sinar Bengkulu di sini. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya pesan satu seat ke Bengkulu untuk besok, Pak."
"Baik, Mbak. Satu orang, berangkat besok ya? Atas nama...?"
"Ratna. Ratna Fidalia. Kalau bisa seat nya yang agak ke tengah, ya."
"Bisa...bisa... Nomor 11 kalau begitu?"
"Boleh juga. Berangkat jam berapa, Pak?"
"Jam 12.30 ya. Tapi usahakan jam 12 sudah di pool ya, Mbak."
"Baik, terima kasih."
"Kembali".Ratna menutup telponnya. Tiket berangkat sudah dipesan, berarti rencana kepulangannya tidak boleh mundur lagi seperti kemarin-kemarin.
Besok siang dia berangkat, berarti lusa subuh dia akan sudah berada di Bengkulu. Sinar di matanya sudah bulat, seakan-akan manisnya udara bercampur aroma laut khas Bengkulu sudah mengundangnya pulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/154244118-288-k855421.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
9 hours (9 jam di Liwa)
Fiction généralePara penumpang Lampung-Bengkulu yang membawa masalah pribadi masing-masing, disatukan oleh kejadian dramatis selama 9 jam di Liwa.