3. Sinar Bengkulu (Kisah Iman dan Adisti)

16 1 0
                                    

Sore itu matahari menembuskan sinarnya yang mulai menguning melewati jendela kamar yang digayuti gorden keluaran terbaru. Kamar tidurnya sendiri menunjukkan hasil rancangan desain interior yang mumpuni. Konsep perpaduan gaya minimalis dengan sempurna mewakili selera Iman dan Adisti, pasangan yang tak segan-segan merogoh kocek dalam-dalam demi kepuasan batin. Persamaan persepsi itulah yang dulu mengawali munculnya getaran asmara antara mereka berdua.

Di sisi kamar, tepatnya di depan kaca rias besar berbingkai kayu jati dengan ukiran yang minimalis, Iman berdiri sambil mengelus perut istrinya yang berdiri manja sambil menyandarkan bahunya di dada sang suami.

"Bener, nih? Kamu yakin, Dis?"

Mungkin ini sudah yang ke sekian kalinya Iman mengajukan pertanyaan yang sama. Dan untuk ke sekian kalinya pula istrinya itu menganggukkan kepala kuat-kuat.

"Adis maunya ngelahirin di dekat mama, Mas. Apalagi ini kan anak pertama kita. Anak mahal. Pokoknya, pas lahiran nanti aku maunya dikelilingi sama keluargaku."

"Keluargaku yang di sini kan sudah jadu keluargamu juga, Dis. Keluarga besar kita."

Adisti memberengutkan mulutnya. "Tetep aja rasanya beda."

"Kamu itu sudah masuk masa-masa rawan melahirkan lho, Dis. Aku nggak mau terjadi apa-apa nantinya. Kamu sendiri kan yang bilang, ini anak mahal."

Iman dengan sengaja menekankan nada suaranya saat menyebutkan dua kata terakhir. Dia ingin menegaskan betapa berharganya janin di dalam kandungan Adisti.

Tapi Adisti bergeming.

"Nggak akan terjadi apa-apa, Mas. Asal kita berangkat sesegera mungkin. Dokter Nasution kan pernah bilang kalau perkiraan lahirnya masih sekitar 3 minggu lagi. Inget nggak? Jadi masih bisa kan..."rajuk calon ibu itu.

Melihat Iman yang mulai bimbang, Adisti kembali mencoba membujuk dengan sengaja memilin-milin ujung lengan kemeja suaminya itu.

"Boleh ya, Maass...?"

Iman merangkul Adisti dari belakang. Sifat manja wanita itu memang tak kunjung hilang, walaupun mereka sudah menikah hampir lima tahun lamanya. Bahkan menjadi calon ibu pun tak membuat kolokannya berkurang. Tapi justru itulah yang senantiasa membuat Iman makin menyayanginya.

"Kamu tahu kan, Mas sayang sekali sama kamu, Dis..."

"Terusss...??" Adisti tampak harap-harap cemas.

Iman makin mengetatkan rangkulannya. Ubun-ubun istrinya dikecupnya pelan. "Itu artinya, apapun yang kamu inginkan saat ini, nggak mungkin bisa Mas tolak."

Adisti mengerjapkan matanya yang tiba-tiba berbinar itu.

Sambil berbalik, Adisti mencoba memastikan,"Dan itu artinya kita jadi pulang ke Bengkulu, nih?"

Iman menganggukkan kepalanya pelan, tampak bahagia melihat seukir senyum di wajah istrinya.

Kalau saja tak ingat akan kandungannya, Adisti pasti sidah melonjak-lonjak kegirangan. Tampak terbayang sudah di hadapannya seluruh anggota keluarga yang dirindukannya, yang pasti akan menyambutnya dengan hujan ciuman dan pelukan hangat. Rasa rindu tiba-tiba menyeruak, membuat kelopak matanya terasa panas.

"Kita berangkat besok, gimana?"bisik Iman.

Adisti menjawab dengan pelukan bahagia. Sejenak Iman menjauhkan istrinya dari pelukannya, merogoh kantung celana Levi'snya untuk meraih smartphone.

Sebentar saja dia sudah terhubung dengan armada yang selalu mereka timpangi tiap kali pulang ke Bengkulu.

"Halo, Sinar Bengkulu?"

"Benar, Pak. Ada yang bisa kami bantu?"

9 hours (9 jam di Liwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang