4. Sinar Bengkulu (Kisah Adrian)

14 1 0
                                    

Klik. Adrian menutup pembicaraan dengan malas, mengundang tanya dari Bram, sahabat sekaligus teman sekantornya.

"Jadi juga akhirnya lu pulang, Bro? Yang barusan lu telpon itu loket bis kan?"tanya Bram sambil melempar tatapan selidik.

Adrian mengangkat bahu, nampak pasrah. " Yaah, mau gimana lagi? Tahulah sendiri mamaku itu orangnya seperti apa. Kalau kemauannya tidak segera diikuti, hujan badai segera pindah ke sini!"

Bram tergelak. Halimah, ibu Andrian memang tipikal wanita yang tegas dan tidak suka dibantah. Mungkin karena telah menjadi single parent sejak Adrian berusia 14 tahun menempanya jadi begitu.

Bram dan Adrian sendiri memang sudah bersahabat sejak kecil, sejak mereka masih duduk di bangku SD di Bengkulu kota. Rumah yang bersebelahan membuat keakraban mereka berdua makin erat.

Pun, setelah lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik, mereka berdua berencana mencoba mengadu nasib ke Jakarta, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh orang tua masing-masing. Jakarta tak ubahnya bak hutan belantara metropolitan di mata Halimah.

Maka jadilah dua sahabat karib itu "hanya" merantau ke Bandar Lampung, hingga akhirnya sama-sama diterima bekerja di sebuah kantor konsultan publik ternama.

"Kapan pulang?"tanya Bram lagi.

" Besok siang, jam 12 pas sudah di pool."

"Oke, entar gue anter."

"Sip. Thanks, Bro!"

Adrian mencoba merapikan tumpukan laporan keuangan yang memenuhi mejanya, tapi tampak jelas bahwa pikirannya jauh entah ke mana.

Bram bangkit menuju mesin pembuat kopi yang tersedia di pojok ruangan kantor. Saat ini sudah hampir pukul enam sore, sebagian besar karyawan sudah pulang sejak pukul lima tadi. Tak sampai lima menit, Bram sudah menyodorkan secangkir kopi hitam kental kepada Adrian. Jenis kopi yang biasa mereka minum jika sedang banyak pikiran.

"Nih, ngopi dulu. Biar pikiran agak enteng."

"Thanks, Bro! Tahu aja, lu." Adrian segera menyesap kopinya dengan nikmat.

"Kenapa, memangnya? Apa nyokap masih nanyain hal yang itu-itu juga?"pancing Bram.

Adrian meletakkan cangkir kopinya. " Kurang lebih begitulah. Sebenarnya gue maklum sih, tiap orang tua pasti ingin anaknya segera dapat jodoh. Tapi nyari istri kan nggak segampang beli nasi bungkus, Bro."

Bram manggut-manggut persis burung pelatuk. Dia sendiri sempat dilanda kecemasan yang sama sebelum akhirnya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya itu.

Adrian melanjutkan,"Yang lebih gawat lagi Bro, nyokap punya rencana konyol untuk mengenalkan sejumlah 'calon mantu' yang sudah disiapkannya di Bengkulu sana. Katanya, kalau gue nggak segera menentukan pilihan, maka pilihan beliaulah yang akan jadi pilihan gue. Unbelieveable!"

Bram kontan terbahak mendengarnya. Aneh bin ajaib rasanya membayangkan sosok Adrian yang beda tipis dari Sandiaga Uno itu harus takluk dan rela duduk bersanding dengan perempuan yang belum tentu disukainya.

"Shut up! Gak lucu, tahu!"protes Adrian.

Bram malah semakin terkekeh. "Hari gini, dijodohin? Kayak yang gak laku aja...hahahaha. Percuma aja muka lu ganteng selangit, Bro!"

"Dasar botak, rese lu!"

"Eitts, biar botak dan hitam, gue laku duluan..hahahaha"

Kontan Adrian melempar sobatnya itu dengan gulungan kertas buram yang sudah berubah bentuk menjadi bola tenis abal-abal. Bram tidak mencoba mengelak. Lelaki itu malah makin menikmati tampang Adrian yang kian masam.

"Gue kan baru masuk 32, Bram! Pak erte gue aja baru nikah pas hampir 40. Buat kita cowok, biasa aja kan nikah agak telat. Nyari duit dulu yang banyak, baru nyari jodoh. Entar kalau memang sudah waktunya, pasti jodoh datang sendiri menggedor rumah kontrakan gue."

"Jangan ngayal lu Bro, jodoh itu dijemput, sama kayak rezeki. Kalau lu duduk manis aja di kantor, mana dapet lah."

Adrian mengangkat ujung bibirnya yang nampak segar karena nyaris tak pernah tersentuh asap tembakau. "Belum ada yang cocok aja, Bram. Kalau ketemu yang sreg, pasti segera kulamar dia."

"Terserah lu deh! Siap-siap aja ngejelasin sama nyokap di Bengkulu entar."

"Itu dia masalahnya! Gue nggak punya penjelasan yang masuk akal buat menolak proposal audisi calon mantu ini," Adrian mengacak-acak rambutnya sendiri.

Bram beranjak dari kursinya yang nyaman, meraih tas kerjanya. Ditepuknya bahu Adrian,"Good luck with that, Bro!"

Adrian memaksakan diri tersenyum, walaupun akhirnya cuma jadi cengiran yang tak enak dilihat. Tanpa banyak bicara lagi ia ikut menyandang tas laptop model vintage miliknya, meraih kunci kontak dari laci mejanya yang paling atas, lalu tergopoh-gopoh menyamai langkah panjang milik Bram.

Pulang!




9 hours (9 jam di Liwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang