5. Sinar Bengkulu (Kisah Shinta & Fadli)

9 2 0
                                    

Wanita berparas menarik itu menghisap rokok mild nya dalam-dalam, mencoba menepis rasa gugup. Hembusan asap melingkar-lingkar keluar dari bibirnya yang disaput lipstik merah marun yang tampak terlalu tebal.

Shinta, demikian dia biasa disapa, merasa seakan kian lama keberuntungannya kian menjauh. Diliriknya sesosok lelaki yang tengah duduk terpekur di seberang meja. Lelaki yang dengan terpaksa dipanggilnya 'suami'.

Tanpa sungkan Shinta menunjukkan rasa sebalnya. Sudah hampir setahun mereka menikah, namun Shinta sudah merasa seperti di penjara. Di awal mereka menikah, kedua orangtuanya berkeras meyakinkannya bahwa cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya seiring waktu. Namun nyatanya, hingga sekarang rasa itu tak kunjung hadir. Dan dirinya juga memang tak berniat sedikitpun untuk menumbuhkannya.

Sudah untung aku mau berkompromi sejauh ini, batin Shinta.

Sementara Fadli, lelaki berperawakan sedang yang harus menerima nasibnya menikahi wanita yang tak mencintainya sama sekali itu, bukannya tak sadar akan rasa benci yang disebar oleh istrinya itu. Bahkan, udara di antara mereka saja sudah terasa sedemikian pengapnya. Ia hanya bisa mengira-ngira, sejauh manakah kesabarannya mampu bertahan?

Menepis rasa sungkan dalam hatinya, dari seberang meja tamu, Fadli mencoba menatap mata Shinta dalam-dalam. "Aku nggak akan memaksa kalau orangtuaku nggak meminta, Shin. Cobalah untuk mengerti, sekali ini saja! Besok-besok aku nggak akan meminta lagi."

Alih-alih menjawab, Shinta malah menghembuskan asap rokoknya ke wajah Fadli, yg langsung membuat lelaki itu terbatuk-batuk.

"Ngapain sih ke Bengkulu? Nantilah, kapan-kapan saja kalau pas lebaran, atau pas liburan tahun baru. Lagian, apa sih menariknya di situ? Aku pasti bakal tersiksa sekali di situ!"

Fadli menghela nafasnya, mencoba menahan amarah yang sudah hampir ke ubun-ubunnya. Inilah konsekuensi punya istri yabg super manja, terbiasa hidup mewah, dikelilingi oleh dunia sosialita.

"Terakhir kita bertemu bapak ibu itu hanya waktu akad nikah, Shin. Wajar kan, kalau sekarang mereka kangen. Ingin tahu kabar kita gimana."

"Tinggal telpon saja kan bisa!"

"Ya jelas beda dong, Shin. Mereka ingin ketemu langsung. Rindu sekali katanya."

Dari suara bapak dan ibunya saat menelepon beberapa hari yang lalu, Fadli bisa membayangkan betapa rindunya mereka. Sejujurnya, dia juga kangen memeluk ibundanya yang sudah sepuh itu. Membaui aroma melati dari rambut ibunya yang tersanggul rapi.

Fadli berdiri menghampiri Shinta, yang sengaja menggeser posisi tubuhnya agak menjauh. Fadli memberanikan diri meraih bahu istrinya itu, yang segera ditepis olehnya. Tak sudi Shinta membiarkan tubuhnya disentuh oleh Fadli, walau hanya bahu sekalipun.

Namun Fadli terus nekat mengeser duduknya, mendekati Shinta. "Shin, aku tahu kamu belum bisa, dan gak akan bisa menerima perjodohan kita ini. Sejauh ini aku masih bisa menerima perlakuanmu itu. Tapi, please, cobalah untuk sedikit ramah pada kedua orangtuaku."

Dengan serba salah Shinta menggeser tubuhnya lagi. Dia tak menyangka, jika dari jarak sedekat itu aroma tubuh Fadli ternyata cukup segar. Padahal setahunya, lelaki itu tak pernah menggunakan parfum apapun.

Shinta mengangkat bahunya, mencoba menunjukkan bahwa dia tak perduli. " Oke! Oke! Asal mereka nggak bertanya macam-macam kepadaku. Apalagi sampai menuntut cucu. Awas saja, aku langsung pulang kalau itu terjadi!"Shinta mengancam dengan mendelikkan matanya.

Fadli sedikit lega mendengarnya, walaupun sedikit merasa miris. Bagaimana mungkin orangtuanya bisa mengharapkan cucu dari mereka, jika berhubungan intim saja mereka belum pernah. Jangankan sejauh itu, berciuman saja juga tidak. Sekalinya Fadli berkesempatan mencium kening Shinta adalah saat mereka melangsungkan akad nikah. Fadli bahkan sempat meragukan dirinya sendiri akibat terlalu lama menahan hasrat di dalam hatinya.

"Jadi, besok kita berangkat ya?" Fadli mencoba memastikan sekali lagi.

"Terserah! Tapi ingat, jangan lama-lama di situ. Kalau aku merasa nggak nyaman, aku pulang hari itu juga."

Tak menyahut, Fadli milih utk mengangguk saja. Shinta melengos pergi, diiringi ketukan high heels nya yang khas. Sebersit senyum tergambar di wajah Fadli. Apapun syaratnya, yabg penting dia berhasil membujuk Shinta untuk pulang ke Bengkulu.

Tak lama kemudian diraihnya telepon genggam dari saku kemejanya. Segera saja dua seat PO Sinar Bengkulu untuk besok siang sudah di booking atas nama dirinya dan Shinta.

9 hours (9 jam di Liwa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang