Hujan dihari senin membuat mataku ingin segera dimanjakan. Udara dingin mengingatkanku kepada selimut. Aku suka hujan, apalagi saat aku masih berusia 7tahun, wah hujan selalu kutunggu-tunggu.
Aroma tanah basah yang dibasuh oleh air hujan membuat jiwaku tenang, dan gemericik air yang jatuh ke bumi membuatku merasa tak sendiri. Aku merangkul tubuhku sendiri, mengurangi sedikit rasa dingin yang menyerangku.
Bibirku tertarik saat melihat bunga yang tumbuh dengan baik walaupun tidak terlalu diperdulikan, hanya bantuan air hujan dan sinar matahari ia berhasil menjadi kelopak indah yang mampu menarik perhatianku.
aku menjulurkan tanganku kerintik hujan itu , ingin menggenggam hal yang selalu buat hatiku bersorak bahagia, tetapi ada tangan lain , entah dari mana asalnya tangan ini yang jelas aku tahu siapa pemiliknya.
"Belum pulang?" tanya seseorang yang sekarang berada tepat disebelahku,Alditya.
Aku hanya diam.
"mau bareng?" tanyanya
Aku menggeleng.
"lo tahu?"
"apa?" tanyaku sambil menarik tanganku kembali ketempat asalnya.
"gue sama lo tuh ibarat hujan dan bunga ra" katanya sambil melihat kearah bunga yang kuperhatikan tadi.
Aku menoleh kearah bunga itu. "maksudnya?" tanyaku.
"iya, lo tuh bunga dan gue hujan. Gue rela jatuh demi lihat lo mekar ra" katanya sambil menatapku.
Aku balas menatap matanya,entah mengapa aku terpaku disana, jantungku terpompa cepat , deru nafasku tak beraturan . di manik mata itu aku temukan setitik kesedihan. Lalu dia memutuskan tatapannya.
Alditya berjalan meninggalkanku yang masih terpaku dengan apa yang dibicarakannya tadi , dia sangat pandai memainkan perasaanku, semoga saja deras hujan mengalahkan suara detak jantungku tadi sehingga alditya tak perlu curiga bahwa aku percaya.
Kakiku menapak di lantai sekolah , kelas demi kelas aku lewati , hingga sampai di halte depan sekolah tempat aku selalu menunggu jemputan, tapi sepertinya hari ini aku tidak akan dijemput, taksi ataupun angkot tidak ada yang melewati jalur rumahku, jadi kuputuskan naik ojek . walaupun aku harus basah-basahan , tak apa, aku tak takut hujan, toh cuma air.
"kemana mbak?"tanya tukang ojek yang sepertinya orang jawa.
"ke jalan mawar mang" jawabku memberi tahu.
Ia pun memberikan helm nya padaku lalu aku segera naik.
Diujung sana aku melihat alditya sedang duduk di atas motor kebangsaannya, memakai jaket dan jas hujan yang menutupi tasnya.
Motor yang kunaiki melaju dengan kecepatan sedang , tapi baju sekolah ku sudah basah kuyup, untung aku masih ada baju cadangan, jadi tidak perlu repot mengeringkan baju untuk kupakai besok.
Ada seseorang yang membuatku terganggu sedari tadi, perasaanku motornya selalu mengikuti laju motor mamang ojek yang sedang kunaiki, dia bukan pencopet, bukan juga perampok ataupun preman , dia alditya.
Akhirnya tiba dirumahku, aku membayar ongkos lalu tukang ojek itu segera pergi. Kulihat motor hitam itu juga ikut berhenti, dia mentapku, aku menghampirinya.
"adaapa?" tanyaku
"Cuma pengen tahu rumah lo aja, jadi kalo gue mau ngajak jalan gue ga susah payah lagi tuh nyari rumah lo" katanya sambil meneliti rumahku.
"lo kayak mau ngerampok aja"
"iya mau ngerampok hati lo" dia tertawa "udah ah , gue mau pulang, dadaahh daraa" alditya menggas motornya hingga hilang dipersimpangan.
Aku tersenyum , lalu segera masuk.
Dia itu apa sih? Aku dengan bodohnya percaya dengan bibir yang kutahu berdusta, penipu yang pada akhirnya membuatku halu, receh sekali , dia mengobral rayuannya kepadaku, seperti memang biasa ia lakukan, tapi katanya hanya aku yang dia buat begitu. Katanya.
Bisa-bisanya dia merusak pandanganku pada hujan, pada rintik yang membuatku bahagia, pada gemericik yang membuatku nyaman. Lalu dia masuk pada pandangan itu ,pada saat tatap teduhnya yang buat aku percaya pada mekarnya bunga yang disebabkan olehnya.

YOU ARE READING
Dear Alditya
Teen Fictionizinkan aku menuliskan sedikit perasaanku di secarik kertas putih ini, menodainya dengan tinta pena hitam yang kupegang, siapa tahu kisah hidupku yang abuabu ini bisa memotivasi suatu hari nanti, kalau aku pernah melewati masa pilu. Aku si gadis b...