47. Pertemuan Para Petinggi

296 28 0
                                    

Arc Diklat Prajurit Baru
===

Dua hari kemudian...

Pusat Kota Moge. Sebuah danau yang terletak tepat di tengah kota. Danau seluas seratus mil lengkap dengan sebuah pulau tebing di tengahnya menjadi maskot tersendiri bagi Kota Moge. Mereka memberi nama danau itu Danau Sungai.

Sementara di tengah danau. Tebing curam di atas pulau tampak dipahat begitu indah membentuk gundukan tangga yang melingkar bagai ular. Melilit tujuh bangunan pulau berbentuk menara indah. Itulah istana Sharawi. Markas pusat G-1 juga berdiri di sana sebagai kantor yang melindungi kesalamatan sang Raja.

Istana Sharawi juga memiliki penjara terbesar sekerajaan. Letaknya berada di bawah tanah dan dikelola oleh pasukan G-1.

Agar bisa sampai ke tengah pulau, kita bisa melewati jembatan maha megah yang menancap dari daratan kota lalu menjulur panjang hingga ke tengah pulau. Mereka menyebut jembatan penghubung itu sebagai The Stone. Terbuat dari semen sebagai alas dan kayu jati sebagai pancang menjadi penyokong paling kuat yang sudah bertahan selama seratus tahun lebih.

Menilik masuk ke dalam. Tepatnya di menara keempat yang berisi lima lantai. Dimana lantai paling atas adalah balkon sang Raja bersantai sekaligus mengadakan pertemuan. Hilir mudik angin pagi menjadi penenang tersendiri bagi sang Raja dikala dia harus disibukkan dengan urusan yang terlihat jelas lewat setumpukan kertas yang ia genggam.

Beralaskan karpet, berdiri meja bundar berwarna hijau dengan empat kursi yang sudah terisi penuh lengkap dengan secangkir teh. Yang duduk di sana adalah para petinggi pasukan serta sang Raja.

"Terima kasih sudah hadir pagi-pagi begini," sang Raja memulai dengan basa-basi.

"Langsung saja, Yang Mulia. Apa yang ingin kau bicarakan," celetuk Gildo Selfgard sekenanya membuat seorang pengawal raja yang berdiri di belakang langsung mendelik tajam.

"Sebagai pengganti bajingan itu, kau cukup sopan juga ya, bajingan kecil," sahut pria tua yang duduk di seberang Gildo. Pria tua berambut putih tipis itu adalah sang Jenderal Pusat pasukan Stampfer, Esno Jegar. Umurnya sudah tua, enam puluh tujuh tahun. Tapi fisiknya jangan ditanya.

"Tapi ya betul juga, kau terlalu banyak bas-basi, Prateek," pria tua itu malah lebih parah. Dengan santai, sambil menghisap cerutu yang baru ia hidupkan lewat ujung jari, ia memanggil sang Raja dengan nama langsung. Raja Praatek hanya tersenyum tipis. Sementara yang di belakangnya melempar tatapan ke arah pria tua. Kali ini lebih bengis. Bahkan ia mengeluarkan sedikit pangkal pedang yang ia gantung di pinggul kiri. Pertanda bahwa pengawal itu akan bertindak tegas jika ada lagi yang berkata tidak sopan kepada sang Raja.

"Kau mau menakutiku, Gelman Fridik," gertak Esno Jegar balik, ia melempar tatapan yang lebih tajam dan menusuk sekaligus mengeluarkan aura mengancam.

"Simpan Shinketsumu itu, Gelman."

Tak ingin keadaan semakin runyam, Raja Praatek menyuruh pengawalnya untuk memasukkan kembali pedang yang telah keluar sedikit.

"Baik, Yang Mulia."

Sejenak keadaan kembali tenang. Tak mau berlama-lama, sang Raja kembali mengambil alih pembicaraan.

"Fiuhh, padahal saya memanggil kalian semua ke sini untuk membicarakan rapat pengawalan pernikahan anakku tapi kenapa keadaan jadi tegang begini."

"Tapi ya sudahlah. Sebelum kita sampai ke intinya. Sebagai Raja, saya mengucapkan banyak terimakasih atas keberhasilan dan pengorbanan kalian, Sacred Forced," sang Raja melempar tatapan senang ke arah Gildo dijawab dengan sorot mata terkejut.

"Seperti yang kita ketahui, intelejen adalah salah satu momok menakutkan bagi setiap kerajaan. Lewat mata-mata, setiap kerajaan bisa mengeruk informasi penting tanpa diketahui oleh pihak yang bersangkutan. Ini yang sedang kita lakukan beberapa tahun belakangan dan sekarang buah dari usaha kita memata-matai salah satu penghianat kerajaan membuahkan hasil. Kita mengetahui banyak informasi penting berupa lokasi markas mereka, orang-orang yang terlibat dalam kelompok mereka dan juga dua orang anggota mereka yang sedang memata-matai kita."

"Ini yang menjadi fokus kita sekarang. Sebelum mereka bertindak, aku ingin kalian menangkap dua orang itu secepat mungkin sebelum pesta pernikahan anakku. Tugas ini aku serahkan padamu, Abraham Rohar."

"Siap, Yang Mulia," Abraham Rohar yang sedari tadi hanya berdiam diri mulai berbicara, menjawab titah sang raja.

"Lalu bagaimana dengan lokasi tanah admendum yang kita temukan, Praatek. Bukankah mereka juga mengincar logam itu," ujar Esno Jegar.

"Oh ya, tentang itu akan kita bicarakan setelah anakku menikah. Sebab, kita tidak mempunyai ahli untuk mengelola logam itu."

"Bagaimanapun, berita tentang penemuan logam itu telah menyebar ke seluruh dunia. Kita harus bergerak cepat, kalau tidak Kerajaan kita akan bernasib sama seperti Kerajaan Holz," ujar Esno memberi peringatan.

"Aku tahu itu, Esno. Pernikahan anakku akan menjadi langkah pertama kita membangun aliansi dengan Kerajaan tetangga. Demi membendung aksi yang akan dilakukan Forum Dunia di negeri kita. "

"Ya baguslah karena cepat atau lambat, Kerajaan Eisen pasti akan bertindak."

"Sudah, mari kita bahas masalah lain. Mengenai pernikahan anakku. Aku ingin kalian bertiga mengirim pasukan terbaik kalian untuk mengawal jalannya pesta pernikahan."

"Bertiga? Maksud Yang Mulia kami juga?" Tanya Gildo Selfgard tak percaya.

"Iya, tahun ini akan menjadi kesempatan pertama untuk kalian, para pasukan Sacred Forced berpartisipasi lebih untuk kerajaan. Aku harap, kalian tak mengecewakan kepercayaanku."

"Tentu saja, Yang Mulia," jawab Gildo begitu semangat.

"Ya, kalau begitu rapat saya bubarkan. Silahkan nikmati tehnya."

Bersambung

ANDRE FOSKAS [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang