"Kurasa teknikmu ini sudah setara kuatnya dengan seorang mayor. Kau bisa menggunakan teknik ini ketika seleksi nanti. Namun pada kondisimu yang sekarang kau hanya bisa menggunakan teknik ini dua kali."
"Terima kasih, Paman Bodoh, berkatmu aku bisa menemukan cara untuk bertemu ayah."
"Kau terlalu berlebihan, Ringo. Pada dasarnya kau ini anak yang kuat. Jadi apa yang kau katakan nanti ketika kau bertemu ayahmu?"
"Aku akan membunuhnya," jawab Ringo dingin, "aku akan membunuh pria itu, yang telah menelantarkan kami, pasti."
"Uwaah," sang Paman Bodoh mengantuk mendengar ambisi keji dari seorang pemuda berumur delapan belas tahun, dia pun pamit kepada Ringo untuk kembali ke kota.
"Kalau begitu, Paman Bodoh ini pamit pulang dulu ke kota."
"Kenapa cepat sekali, ibu sangat senang kau ada disini. Ibu nanti bisa sedih."
"Aku ada urusan penting di kota. Sudah ya, paman mau pulang dulu."
Pada akhirnya Ringo tidak bisa mencegah sang Paman pulang ke kota. Dia hanya bisa menatap punggung sang paman yang terhentak pelan karena menaiki seekor kuda hilang ditelan pandang.
Ringo akhirnya masuk ke dalam gubuk setelah memastikan punggung sang paman menghilang. Dia mendatangi sang ibu yang terbaring lemah di atas ranjang rapuh. Wanita parubaya itu tak dapat lagi berdiri. Dia hanya bisa berbaring sepanjang hari sambil menatap Ringo mengerjakan semua tugasnya sehari-hari dengan hati yang celus dirundung pilu. Padahal umur wanita ini masih tiga puluha sembilan tahun, namun sudah ditimpa penyakit stroke sekitar lima tahun lalu.
Penyakit yang ia sebut sebagai hasil yang akan ia terima jika memiliki anak dari seorang bangsawan. Dengan sebab misterius, keturunan wanita ini dilarang keras bercampur dengan seorang bangsawan sejak dahulu kala.
Beruntung di kehidupan wanita yang bernama Herena ini hadir sosok malaikat tulus yang anaknya selalu memanggil sosok itu dengan Paman Bodoh. Pria parubaya itu selalu datang membawa uang bekal untuk kehidupan mereka sehari-hari. Pria baik yang selalu membuat Ringo tersenyum. Berbeda dengan kekasihnya yang langsung kabur karena malu memiliki seorang anak hasil hubungan dari wanita yang bekerja sebagai pembantu.
Bagaimana tidak, kekasihnya itu adaha seorang Wakil Jenderal Sacred Forced, Gildo Selfgard.
Kembali ke masa sekarang...
Puluhan batu melayang mulai menyasar ke arah Andre bagai pelor. Andre mundur menjauh dalam kecepatan tinggi. Panas dari api yang menyelimuti seluruh tubuhnya menambah kecepatan gerak pengembala domba ini tiga kali lipat. Ditambah reflek menangkis serangan juga ikut meningkat. Dia menamai teknik ini Mode Fireman.
Bongkahan batu meluncur tak kalah cepat. Diikuti Ringo yang berlari mengejar. Tentu saja, Andre tidak akan membiarkan pemuda itu mendekat. Bisa gawat, jika dia mengaktifkan pengunci tubuh seperti tadi. Apalagi, sekarang dia sedang berusaha mati-matian mengelak bongkahan batu yang terus datang kepadanya.
"Batu-batu ini terus berdatangan tak ada habisnya," Andre berhenti mengelak. Tangan virtual api segera menutupi tubuhnya bagai payung dengan sangat cepat. Dia membidik Ringo yang sedang melayang mengejarnya.
"Apa kau ingin menyerah, pria naif!" Ringo salah menanggap maksud, keuntungan bagi Andre.
"Siapa yang menyerah, bodoh!"
Andre melontarkan peluru api dari tangan kanan. "Red bullet!" Ringo terkesiap. Dia keburu meluncur dan tidak siap untuk mengelak. Akan tetapi, dia masih punya sebuah cara. Remaja yang satu ini menolak tubuhnya ke samping kiri menggunakan gravitasi. Serangan kejutan Andre berakhir sia-sia.
Pada akhirnya, remaja itu berhasil mendekat dan reaksi yang sama seperti tadi muncul juga. "Kau pasti sudah mengiranya bukan? Kalau aku dekat denganmu..." Dia menyibakkan pedang yang sedari tadi digenggam di tangan kiri. Bersiap mengeksekusi.
"Matilah kau, pria naif."
Dia membelah tubuh Andre menjadi dua. Akan tetapi, sosok tak diduga muncul dengan cepat dari arah kanan.
Andre muncul dalam keadaan sehat walafiat, padahal sedetik yang lewat pemuda ini baru saja terbelah dua.
"Bagaimana mungkin?"
Andre tak membalas kebingungan penonton yang melihat, kebingungan Ringo dan kebingungan para pembaca. Dia lebih memilih meninju sang lawan sekuat tenaga sambil berkata, "yang kau tebas tadi itu apa?"
Seketika Ringo terlempar jauh lengkap dengan luka lonyot di wajah dan behenti ketika menabrak kaca maha kuat.
Semua orang mencoba berpikir bagaimana cara Andre lepas dari gravitasi pengikat milik musuh dalam sepersekian detik.
Mula-mula dari tribun penonton, salah seorang peserta, Jimy Dozen mulai berasumsi. "Apa dia tadi menggunakan replika?" Pikirannya buntu sampai disitu.
"Apa gerakannya terlalu cepat?" Nina yang duduk di sebelah hanya bisa menduga.
"Dia sangat berbakat," hanya itu yang bisa Mayor Gerald ucapkan.
Shira dan rombongan anak buahnya terlambat datang akibat Serena. Dia terpaksa duduk di undakan tangga paling tinggi dekat pintu kuil.
"Syukur saja wanita itu melakukan hal gila tadi," Shira merasa lega.
"Memangnya apa yang dia lakukan?" Tanya Mira.
"Apa pertandingannya sudah selesai," Hendrik enggan menanggapi, matanya fokus melihat arena.
"Apa kau bilang," Shira ikut berpaling, "siapa yang menang?" Pandangan Shira ikut menyapu ke depan. Dilihatnya yang berdiri hanya Andre seorang.
Seketika senyum dari wanita blonde itu mengembang. "Apa Andre menang?"
"Belum," jawab Hendrik.
Pemuda itu bangkit berdiri dengan wajah yang terluka. Tampak daging segar dari pipi keroak beserta tetes darah yang mulai mengering.
"Menyebalkan," gerutu Ringo. Tatapannya tertunduk, rambutnya terkulai ke bawah. Gelombang energi tiba-tiba muncul di sekeliling Ringo. Gravitasi membuat serpihan batu kecil dan besar melayang kembali. Kali ini berbeda. Andre merasakan sesak di sekeliling tubuh.
"Apa ini," tubuhnya terasa tidak mampu bergerak padahal mereka berdua berada pada jarak yang cukup jauh. "Seharusnya gravitasi orang itu tidak sampai kemari, apa-apaan ini," Andre merasa terkunci.
Sementara uap putih menyala di tubuh Ringo. Kulit tubuhnya jadi terang benderang lengkap dengan kemarahan yang sebentar lagi akan menyerbak keluar.
"Kenapa, kenapa kau menghalangiku!!!" Gelombang angin dahsyat seketika tercipta dan menembak segala arah. Andre juga tak kuasa menahan dorongan amarah tadi. Dia terlempar jauh. Dinding kaca penghalang tribun penonton retak. Nikel tercengang bukan.
Kaca buatan dirinya yang diklaim sangat kuat bisa retak hanya terkena gelombang angin.
"Apa-apaan bocah itu, kekuatannya sudah sama seperti kita!"
Nikel tak sadar jika teman sebelahnya lebih tercengang mengetahui sesuatu.
"Hei Nikel," ujar Gerald sambil menepuk bahu temannya, "Gelombang putih itu, bukankah itu teknik Amarah Langit."
Bola mata pria berambut hitam itu seketika membesar karena baru mengetahui fakta yang tidak terlalu ia perhatikan tadi.
"Bukankah hanya Wakil Jenderal Gildo Selfgard yang menguasai teknik itu. Tidak ada Selfgard lain yang menguasai teknik mematikan ini. Siapa sebenarnya bocah itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDRE FOSKAS [TAMAT]
FantasiAndre Foskas, anak pengembala. Hari-harinya biasa, mengembala domba, menatap langit senja sambil melamun lalu buru-buru pulang ketika malam tiba. Namun lebih dari itu, dia punya impian yang lebih tinggi dari pekerjaannya. Sangat tinggi hingga orang...