1. SEKECIL NAMA

2.3K 100 26
                                    


Memandangnya dengan senyuman, dari kejauhan hingga waktu termakan habis karna kepengecutan.


"Lo apaan si, segala lo jodoh jodohin gue sama Vano. Gue gak kenal sama dia, dia tadi nabrak gue, minta kenalan dan setelahnya gue tinggal gitu aja. Hal sepele masih aja di bikin brownews, dasar gila." Bibir lentik dengan begitu banyak ucapan yang ia lontarkan dengan begitu banyak kegeraman.

"Hal sepele gimana, lo cantik, primadona. Tapi lo masih aja gak suka sama kenyataan yang melekat sama diri lo sendiri."

"Elo yang gila." Sambung sahabatnya yang selalu kena omelanya itu

"Cait. Plis deh." Ia menghela nafas kasar, berusaha membuang beban yang ia tampung selama 3 tahun belakangan ini.

"Gue itu gak suka sama apa yang sekarang ada sama gue. Gue merasa setiap detik gue selalu di bicarain. Kuping gue sampe sakit dengernya."

Salsha tetaplah Salsha. Ia akan merasa sangat terganggu jika ada saja orang yang menggangu hidupnya. Terlebih antara hubungan percintaanya.

Ini sangat sangat privasi!

"Lo manggil Farrel aja Vano. Itu udah terbukti kalo elo ada sesuatu sama dia." Caitlin selalu saja mencari alasan unuk membuatnya mengaku.

Percayalah, pengakuan dan curahan yang Salsha sampaikan pada kedua temannya itu akan terlihat sia sia. Hanya menguras tenaga.

"Gak semua yang kalian liat dan denger itu selalu aja ada sesuatu. Gue lebih suka manggil dia Vano daripada Farrel karna panggilan itu yang lebih enak gue ngucapnya, you know?" Ucap Salsha mulai malas menggadapi kelanjutan semuanya.

Baru saja kemarin ia di kabarkan dekat dengan Gio sekarang dengan Vano. Bukankah sekarang dia bisa di katakan seperti seorang jalang?

Salsha tak menyukai penuturan setiap lambe di sekitarnya.

"Udah udah. Cait lo harus bisa ngertiin sahabat kita. Jangan ikut ikutan sama para lambe di sekitar kita. Kita temen Salsha kita juga yang harus suport Salsha. Bukan jadiin suasana kaya gini di panas panasin." Ucap Jeha memberi wejangan pada teman yang sangat cerewet ini. Katakan jika Caitlin paling lenjeh di antara ketiga sahabatnya itu.

"Sumpah gue cape sama keadaan yang menekan gue. Gue pengen bebas tanpa ada yang merusak mood gue yang bisa 00di bilang ancur." Ucap Salsha kesal dan meninggalkan teman tamannya pergi entah kemana.

***

"Saat kamu selalu di beritakan dengan laki laki lain. Saya masih saja diam membisu seperti seorang tuli. Jujur saya cemburu Sal." Ucap cowok di sebrang sana yang masih saja memandang gelagat seseorang yang ia kagumi.

Sejak lama! Sejak ia pertama melihat Salsha saat MPLS. Dan ini sudah hampir lulus, dirinya dan Salsha telah menginjak kelas 12 yang kenyataanya akan lebih jauh jika tak ia sampaikan.

Ia masih saja bersikap misterius dan hanya bisa memandang. Dari Salsha kesal dengan ocehan sana sini dan kesal pada teman temannya hingga Salsha pergi begitu saja.

"Rasanya saya selalu ingin mengikuti kamu. Gak ada keseharian sedikitpun tanpa aktifitas membuntuti." Ucap seseorang tadi dan berlalu pergi mencari arah tujuan seseorang yang ia damba. Dia tentu tau.

***

"Tatap gue. Tatap!" Teriak Salsha di tempat yang terbilang sunyi.

"Gue gak suka sama keadaan yang buat gue gak nyaman."

"Kenyamanan yang gue inginkan dari awal gue masuk sekolah ini. Sampe gue bakal lulus gak berubah sedikitpun. Gue cape tuhan." Teriakan keras menggema menandakan Salsha hanya sediri dengan penuh amarah.

Kesimpulannya ia marah dengan keseluruhannya. Ia lelah. Salsha menundukan wajah cantiknya memandang rerumputan yang ia pijak dengan sepatu sekolahnya.

"Bunda Salsha kangen. Kapan bunda kembali sama Salsha lagi." Lirih Salsha berusaha tegar dengan kenyataan yang ada.

Air yang sadari tadi ia tahan seketika meluncur begitu saja jika menyangkut pembahasan ini.

Ia segera pergi meninggalkan tempat yang ia beri Nama Kesunyian.

Di sinilah dirinya meluapkan emosi dan juga kekesalannya. Dan selalu saja berakhir kelemahnya. Dia menangis dan meninggalkan air mata kelemahannya di sini. Berharap hanya dia yang mengetahui tempat yang sangat tenang ini.

***

"Saya selalu tau Sal. Selalu."

"Kamu selalu meluapkan semuanya di sini. Saya sangat kagum sama kamu."

"Bukan dengan tangisan histeris kamu meluapkan. Dengan teriak dan berakhir air mata."

"Saya tau semuanya. Dan ada saatnya saya menjadi sandaran di saat kamu menangis pilu."

Ia juga berlalu pergi menuju kelasnya. Lumayan kecil suara bell tanda masuk berbunyi. Namun indra pendengarannya masih bisa menangkap sinyal tersebut.

_24/07/2018

AGAINST THE FATE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang