01

98 9 3
                                    

**
Rasa hanyalah hembusan angin gusar yang tiba-tiba menerpa.

Berjalan bersama terik, melewati pohon rindang nan sejuk. Bersenandung ria untuk menguatkan hati. Agar tiada rasa sesak yang menjalar di sanubari. Biarkan, memang ini adalah kata rasa diatas ungkapan cinta. Cukup, beginilah yang membuatnya bahagia. Melihat cintanya terus senang karena dirinya. Semoga saja selalu seperti itu.

Ia terus berjalan melakukan ritual pagi biasanya. Melewati koridor yang sepi. Padahal, sinar matahari sudah menusuk kulitnya. Tetapi, hanya segelintir orang yang masih berada. Ia bersemangat pagi, dengan tujuan yang pasti. Inilah yang ia lakukan setiap berangkat sekolah. Memberikan sekotak nasi spesial untuk seorang terkasihnya. Mungkin, ia belum datang. Karena yang dirinya tahu, cowok itu selalu berangkat siang. Nah, akhirnya ia sampai di ambang kelasnya. Menyenangkan, bisa melihat kelasnya. Ia segera meletakkan sekotak nasi penuh rasa di meja yang ia tuju.

Semoga kamu suka.

Selepasnya ia pergi meninggalkan kelas XI IPA 4 itu. Karena, dirasa yang dilakukannya itu cukup. Hanya sekadar menanti dan menunggu jawaban. Biar pengorbanan yang menjawab hasil. Ia berhembus napas saat menemu ujung kelasnya. Ternyata, temannya sudah banyak yang datang. Mungkin, jam sudah mulai menunjuk siang. Karena memang benar, di jamnya menunjukkan pukul tujuh tepat. Ia segera masuk kelas sebelum seorang guru datang. Karena, ia ingin sekali menjadi murid teladan. Meski, tidak pintar sekalipun. Ia lantas pergi ke tempat duduknya untuk menerima santapan materi.

"Gladys!" Suara seseorang mengagetkan dirinya.

"Ha? Iya, kenapa?" Jawab Gladys bertanya-tanya, perihal temannya yang menyapa tiba-tiba.

"Masih anter bekal nih?" Tanya Dini selaku temannya yang tersenyum sinis.

"Iya, tetap kok." Sahut Gladys dan segera menuju bangkunya untuk mengakhiri asumsi Dini tentangnya.

Meskipun, pertanyaan itu sering terjadi. Ia tak pernah untuk berlaku kasar kepada semua temannya. Dan, ia tak pernah mengurungkan niat sekalipun untuk berakhir tentang apapun. Ini rasanya dan hatinya. Biarkan, seperti air mengalir walau diusik sekalipun. Memang, ia adalah gadis yang tenang, tetapi dirinya juga tidak ingin ditenangkan. Seperti, jangan begini dan jangan begitu. Ini hidupnya dan dirinya sendiri. Apa pedulinya tentang ucapan temannya yang sering kali merusak suasana.

"Anak-anak, cepat kerjakan di buku tulis soal hal 98. Setengah jam lagi kumpulkan di meja saya." Ujar bu Sinta membuyarkan lamunannya. Ia terperangah kaget dan segera mengerjakan apa yang ditugaskan. Setidaknya, tugas membuatnya lupa sementara tentang rasa dan bebannya. Maka dari itu ia tidak pernah berpikir apapun saat pelajaran selain materi. Setelah, apa yang dikerjakannya selesai. Ia akan mengajak temannya Indah pergi ke kantin. Tentu, untuk menemui kasihnya.

Cepat sekali ia mengerjakannya, karena memang terburu-buru. Namun, jangan diragukan lagi jawabannya. Pasti selalu benar. Itu hanya menurutnya. Ia segera menutup tugasnya sumringah. Dan mengumpulkan ke depan meja guru. Biarkan, Sang ketua kelas yang mengantar tugas teman satu kelas di meja kantor. Segera ia menuju bangku Indah yang masih berkutat dengan tugasnya.

"Indah, cepet ah! Lama! Ayo, ke kantin!" Ajaknya kesal karena Indah dengan santainya mengerjakan tugas.

"Males ah. Duluan aja! Tinggal dikit." Jawab Indah serius sembari mengambil buku tugas teman depannya untuk dicontek.

"Beneran? Nyusul ya!"

"Iya."

"Gue tunggu."

"Iya."

"Jangan boong!"

"IYAAA!! GLADYS!" Pekik Indah yang membuatnya meringis dan segera menjauh pergi menuju kantin.

**

Disini ia berdiri, menatap puluhan murid yang mengisi perut. Melahap dengan senang untuk kenyang. Gurau canda dari sederet kursi yang ada. Namun, yang menarik perhatiannya disana adalah. Seseorang. Itulah yang ia cari disini. Dengan cepat Gladys menuju meja yang dihuni teman Yunan, dan juga kasihnya. Entahlah, ia merasa gugup kala sudah sampai di meja itu. Yunan hanya menatapnya seraya bingung dengan apa yang ia lakukan. Mungkin, dia menunggu Gladys berbicara. Oke, baiklah. Ia harus menyiapkan mental.

"Gimana, masakan yang tadi?" Tanyanya pada Yunan yang masih menatap bingung.

"Enak." Jawab Yunan singkat dan padat. Ia menjadi senang dengan pengakuan Yunan kali ini. Baru, kali ini dia yang ia cinta berkata begini.

"Jadi?" Tanyanya dari pertanyaan yang kesekian.

"Apanya?"

"Jawabannya."

"Apa?"

"Gue, suka lo!" Ucap Gladys jujur sambil menunduk malu. Karena, ia yakin jawaban Yunan pasti antara tidak dan iya. Namun, ia yakin jika iya. Sebab, biasanya bekal yang ia kasih akan disumbangkan ke teman Yunan.

"Maaf," Jawab Yunan sambil melenggang pergi melewatinya.
"Lo harusnya tau diri." Imbuhnya diselingi pernyataan yang membuatnya tertohok. Entahlah, ungkapan itu membuatnya menjadi hina dihadapan semua orang. Sakit. Tetapi, ia hanya bisa tersenyum di tepi kesedihan.

Rasa dan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang