"Andai gue sama dia kenal dengan cara yang berbeda ...."
***
Plis, Nat. Angkat ....
Namun, yang terjadi sama sekali berbeda dengan yang Valencia harapkan. Dalam beberapa kali nada sambungan saja, telepon itu mati, yang berarti ditolak oleh Nata.
Valencia mendesah frustasi. Dia mengempaskan tubuh di ranjang, menutup matanya untuk sejenak. Pikirannya mulai melayang.
Nata ... Nata .... Nata ....
Dia mengingat bagaimana cowok itu bicara padanya, nada suaranya yang tak pernah dia gunakan pada siapa pun selain Valencia hari itu, cara Nata mencium pipinya .... Dan sekarang, gadis itu membayangkan bagaimana reaksi dan perasaan Nata ketika Karin membeberkan semuanya.
Mendesah sekali lagi, Valencia membuka mata. Dia kembali mengangkat ponsel yang sebelumnya tergeletak sembarangan di ranjang. Ini adalah harapan terakhirnya.
To: Nata
Nat, tunggu gue di taman belakang sekolah besok waktu istirahat. Biar gue jelasin dan kita bisa selesain. Please.
Valencia menunggu, sama sekali tidak keluar dari roomchat. Dia membaca lagi pesan yang baru saja dikirimnya, merasa khawatir kalau-kalau ada bagian yang menyinggung Nata, atau akan membuat cowok itu semakin marah.
Menit-menit berlalu, berjalan beriringan dengan sesak yang mulai menghampiri dada gadis itu.
Andai dia tidak menerima tawaran Karin hari itu, mungkinkah dia dan Nata akan baik-baik saja? Akankah Nata bisa tidak membencinya?
Nggak mungkin, pikirnya. Satu-satunya yang terjadi jika Valencia tidak menerima tawaran Karin hari itu adalah bahwa dia dan Nata akan tetap menjadi dua orang yang tidak saling mengenal.
Hanyut dalam penyesalan serta berbagai pengandaian yang muncul di dalam kepala, Valencia terisak.
Andai gue sama Nata kenal dengan cara yang berbeda ... Andai Nenek nggak sakit .... Andai ....
***
Tepat saat bel istirahat berbunyi, Valencia bergegas menuju ke taman belakang sekolah, satu-satunya tempat di sekolah yang cukup sepi sehingga dia dan Nata bisa mendapatkan privasi.
Pagi tadi, ketika mengecek ponselnya, Valencia melihat pesannya telah dibaca oleh Nata, meski sama sekali tidak dibalas. Namun, hal itu tetap saja merupakan sebuah peluang.
Sekarang, yang bisa dilakukan gadis itu cuma menunggu dalam diam di taman, memandang semak-semak kecil yang tumbuh di dekat dinding pembatas. Dalam harap, dia melirik ke arah kedatangannya tadi, menginginkan kedatangan seorang pemuda jangkung yang membuatnya terisak hingga jatuh tertidur semalam.
Waktu berlalu, terasa lama sekali bagi Valencia. Dan ketika panas mulai menyengat matanya, gadis itu mendengar suara langkah.
Gadis itu menahan napas. Nata, dengan wajah dingin seperti biasa, berjalan mendekati Valencia. Gadis itu mengerjapkan mata, berusaha mengenyahkan apa pun yang hendak jatuh dari sana.
Nata berhenti selangkah di depan gadis itu, dan segera saja Valencia membuka mulut untuk bicara. Namun, sebelum satu kata pun keluar dari mulutnya, Nata menyela, "Gue jadi barang taruhan."
Valencia menelan ludah. "Ya," jawabnya dengan suara yang tak lebih keras daripada bisikan.
"Demi uang."
Dua kata itu cukup untuk menohok Valencia hingga ke ulu hati. Dan sialnya, Nata benar.
"Gua pikir lo beneran suka sama gua, sampe ngejar-ngejar begitu. Dan ini yang terjadi setelah gua coba buka hati buat orang lain," ucap Nata dengan penuh penekanan.
Hati Valencia tercabik, tapi dia harus mengatakan semuanya pada Nata, segala hal yang dia tutupi. "Lo harus dengerin penjelasan gue. Plis, Nat. Gue punya alasan ngelakuin taruhan itu dan lo-"
"Gua tau semuanya! Karin tawarin uang buat lo, dan pekerjaan yang harus lo lakuin cuma dapetin gua!"
"Lo nggak ngerti-"
"Lo pikir kenapa gua bersikap ketus dan dingin ke semua orang? Gua benci muka dua, Val. Gua benci orang yang datang ke gua cuma ketika butuh, dan yang lo lakuin itu nggak ada bedanya!"
Apakah Nata sedang mengatakan kalau dia membenci Valencia? "Nat, gue perlu banget uang itu. Kalo gue nggak dapet-"
"Dengan korbanin perasaan gue? Lo pikir perasaan gua bisa dihargain pake uang? Mikir, Val!"
Tidak, Nata tidak tahu apa-apa. Dia tidak mengerti sama sekali tentang penyakit kronis yang diderita nenek Valencia. Nata tidak tahu apa-apa soal perasaan. Nata tidak tahu bagaimana rasanya ditinggal mati kedua orang tua bersama seorang nenek yang sakit parah. Nata tidak tahu apa-apa!
Telapak tangan Valencia mengepal. Kepalanya berdenyut oleh emosi yang datang dengan begitu tiba-tiba. Suaranya mendesis ketika berkata, "Lo nggak tau apa-apa ...."
"Kita putus. Jangan berani-berani lo temuin gue lagi." Dan dengan itu, si pemuda jangkung berbalik badan, meninggalkan Valencia sendiri dalam berbagai emosi yang membuncah.
Valencia menatap kepergian Nata dengan nanar. Air mata mulai menyengat matanya, mendesak ingin keluar. Kakinya terasa sangat lemah, seolah akan goyah bila tertiup angin.
Gadis itu berjongkok, melipat tangan di lutut, menenggelamkan kepala di sana. Ingatan tentang orang tuanya kembali, juga tentang neneknya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Nenek butuh pengobatan lebih lanjut, dengan fasilitas yang lebih memadai dari rumah sakit mana pun yang ada di kota tempatnya tinggal.
Apakah layak mengorbankan perasaan Nata untuk menyelamatkan Nenek? Dan bagaimana dengan perasaannya sendiri? Bisakah Nenek mendapat pengobatan yang cukup sementara hubungannya dengan Nata baik-baik saja?
Valencia hampir merasa menyesal. Namun, dia tidak membiarkan perasaan itu menguasainya. Bagaimanapun, dia melakukan ini untuk neneknya. Dia tidak sepenuhnya bersalah.
Bangkit berdiri, gadis itu menyeka air mata di pipinya.
***
"Apa lo udah puas?" Valencia mengangkat alis, menatap Karin serius.
"Emangnya gue pernah puas?" jawab Karin dengan seringai yang membuat Valencia ingin menamparnya.
Valencia harus kembali menghela napas untuk meredakan amarahnya. "Mau lo apa sih, sebenernya? Lo suruh gue deketin Nata, dan sekarang setelah gue sama dia udah jadian beneran, lo ancurin hubungan kita. Kenapa?"
"Lo pikir gue rela gitu, lo jadian sama Nata yang gue incer dari dulu?"
"Terus kenapa lo suruh gue deketin Nata buat taruhan?" Valencia menggertakkan gigi, menahan agar suaranya tidak keluar terlalu keras sehingga menarik perhstian orang-orang yang lewat. Sekolah boleh jadi sudah usai, tapi mereka sedang berada di kantin, dan kantin tidak pernah mengenal kata sepi.
"Ya ... gue pengen aja, kali," Karin menjawab dengan entengnya, dilengkapi dengan intonasi masa-bodo-ah. "Mana gue tau kalau dia bakal beneran nerima elo?"
"Parah banget ya, lo. Gara-gara lo, dia benci gue sekarang."
"Bukan urusan gue. Siapa suruh lo terima tantangannya?" Karin memainkan ujung rambutnya, bertingkah seolah tak punya dosa.
Tidak tahan lagi, Valencia berbalik sambil mengepalkan kedua tangannya.
Dia tidak akan mengorbankan Nata untuk kesia-siaan. Dia tidak mengorbankan perasannya sendiri untuk hancur berkeping-keping tanpa ada faedahnya. Semua ini untuk neneknya, satu-satunya keluarga Valencia yang masih tersisa.
Dan dengan bodohnya gadis itu berharap Nata akan mengerti suatu hari nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Hello and Goodbye
Teen Fiction[COMPLETED] Penyesalan tidak pernah muncul di awal. Ini hanya kisah singkatku dengan dia. Dia yang dingin dan aku yang hangat. Dia yang menjauh dan aku yang mendekat. Awalnya aku kira semua ini hanya permainan yang mereka ciptakan untukku, tetapi ti...