"Malah bahas batas privasi, sih, Kai!" protes Alya.
"Ya namanya juga orang pacaran, Kai. Wajar, lah," kata Nessa.
"Kewajarannya di sebelah mana, ya? Kalian baru pacaran, kan? Nyokap bokap gue aja kayaknya masih punya batas privasi, deh, tuh. Lo masih pacaran udah gitu, gimana nanti nikah?"
"Ya beda, lah, Kai. Lagian jauh amat mikir sampe nikah begitu."
"Lah, emang tujuan lo pacaran apa, deh, kalo bukan buat nikah? Udah bukan anak SMA, Al," kataku.
Handphone Alya berdering. Terpampang nama Yasayang di layar handphone Alya.
"Halo," sapa Alya dengan sedikit ketus.
"Di kantin," kata Alya kepada Yasa di seberang telepon.
"Sama Nessa, sama Kaina. Kenapa?"
"Ngapain? Nggak makan bareng adek tingkat kamu aja?" Alya menjawab Yasa dengan kesal namun tetap tersenyum. Gaya sarkas ala Yasa.
"Lah, dimatiin." Alya bersungut-sungut menatap handphone-nya.
Kata Alya, Yasa ingin menyusul ke kantin, ingin makan. Yasa sering, sih, menyusul Alya ketika ia sedang bersamaku dan Nessa. Yasa pun yang kerap kali menjadi temanku dalam mendengar sekaligus memberi tanggapan yang menurut kami paling masuk akal kepada Nessa maupun Alya ketika mereka asyik bercerita.
"Hai, Kai. Hai, Nes." Itu Yasa.
Aku tersenyum dan Nessa membalas sapaan Yasa.
"Lagi pada ngomongin gue, ya, Kai?" Yasa bertanya kepadaku sambil melirik Alya dan Nessa.
"PD banget!" sahut Alya.
Yasa masih menunggu jawabanku. Aku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum miring.
"Kai, kalo lo jadi gue, emang lo tega ngebiarin cewek bannya bocor malem-malem, sendirian?" Begitulah Yasa ketika Alya uring-uringan yang menurutnya tidak jelas sebabnya. Aku yang jadi sasaran.
"Ya emangnya dia nggak punya temen seangkatannya yang bisa dimintain tolong apa? Harus kamu banget?" Begitulah Alya. Ia yang akan selalu menyahut ketika Yasa bertanya padaku demi pembelaan dirinya.
"Kai, gue kan lagi ngomong sama lo. Jangan diem aja. Nenek sihir berisik banget, kebiasaan."
"Yasa, ih."
Aku mengangkat tangan kananku. Isyarat yang tentu saja Alya dan Nessa sudah paham. Aku lelah mendengar perdebatan yang sesungguhnya tidak benar-benar diperlukan.
"Seenggaknya bilang, Yas," ucapku akhirnya.
"Yah, Kai, lo tau sendiri, lah. Gue mau bilang kayak apa juga nggak bakal dibolehin kalo udah menyangkut adek tingkat yang itu."
Alya sudah ingin menyahut ketika aku mengangkat tangan kananku lagi.
"Ya kalo lo emang tau Alya sensinya kayak apa sama adek tingkat yang itu, ya nggak usah nyari gara-gara, Yas."
"Tapi dia, kan, minta tolong, Kai. Gue bisa nolong, masa gue nggak nolongin?"
"Orang kalo sekali ditolong bukan nggak mungkin nggak akan minta tolong lagi. Lo mau dia bergantung sama lo terus?"
Yasa tampak enggan menjawab. Alya tersenyum.
"Btw, Yas, lo udah nggak ada batas privasi?" tanyaku santai.
Yasa menaikkan sebelah alisnya. Alya tampak gusar. Yasa menyadarinya.
"Sini HP kamu, biar aku log out instagramku. Nggak usah kepo sama yang bukan urusan dan jatah kamu," ucap Yasa tegas kepada Alya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Merpati
Teen Fiction"Cari pacar, sih, Kai." "Biar apa?" "Biar nggak sinis-sinis sama orang pacaran." "Siapa suruh perbandingan cerita sambil ketawa sama cerita sambil nangis dari orang pacaran lebih banyak sambil nangisnya?" Katanya cara manusia mencintai itu beda-beda...