One

11.7K 1.9K 195
                                    

Suasana chaos. Aska tak mengerti kenapa pendarahan tak bisa diatasi sementara denyut jantung pasien semakin tak stabil.

Keringatnya mengalir deras. "Call dr. Grace!" teriaknya sementara dia mati-matian mencari di mana yang salah.

Tak lama kemudian bundanya datang. Tangannya juga terbungkus sarung tangan operasi yang bernoda darah yang sekarang ditutup kain untuk menjaganya tetap steril.

"What is it?" tanyanya tajam.

"I can't stop the bleeding," seru Aska panik.

"Sudah menemukan sumber pendarahannya?"

Aska meraba-raba. "Ya! Robekannya terlalu besar. I need a hand!"

"It's your patient!" seru Grace tajam.

"He's your patient too!" balas Aska berang.

"Dr. Aska! I'm leaving my patient in an operating table next door just to figure out that you can't stitch! Berapa banyak Anda berlatih menjahit luka?"

"Too many!!"

"How much??"

"I don't know! I don't count! A thousand?"

"Make it a thousand and one!" balas Grace dingin.

Aska memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum menangani pasien lagi.

"Denyut jantung stabil," seru perawat operasi tak lama kemudian membuat Aska menghembuskan napas lega.

"You want me to close his chest?" tanya Grace.

Aska menoleh ke arah Bundanya. "No, I can do this."

Grace berbalik menuju pintu, "I know you can," ucapnya sesaat sebelum pergi.

-----------

Aska melemparkan jubah operasinya ke dalam keranjang. Dia kesal pada dirinya sendiri. Operasi solo setelah sekian lama selalu didampingi dan dia panik.

Begitulah kalau operasi dalam keadaan lapar. Dia tadi melewatkan makan siang karena sibuk di trauma center. Entah kenapa siang ini banyak pasien datang dan hampir semua memenuhi ruang operasi.

Aska memutuskan untuk pergi ke kantin. Lagipula jam kerjanya sebentar lagi selesai. Setibanya di sana dia malah bertemu anak laki-laki berseragam pramuka yang tampak sibuk dengan ponselnya. Dilihat sekilas saja Aska tahu dia sibuk main game.

Aska membawa nampan makanannya ke hadapan anak hilang tersebut. "Ji, kok sendirian?" sapanya.

Anak itu menoleh. "Aku nunggu Babeh." Lalu kembali memusatkan perhatian ke ponselnya.

"Babeh mana?" tanya Aska lagi.

"Gak tau."

Aska ingin sekali menjitak anak itu. Begitulah anak bungsu Om Juned, kalau ditanya selalu jawab singkat-singkat.

Bagusnya disatukan dalam satu ruangan dengan Darren, suasana akan sepi seperti di pemakaman. Sama-sama ga suka ngomong!

"Sendirian gini, gapapa, Ji?"

"Gapapa, kata Babeh dia cuma pergi sebentar."

Benar saja tak lama kemudian Jun datang. "Pulang yuk, Ji!" ajaknya.

Eiji menutup aplikasi di ponsel lalu menaruhnya di saku baju. Tangannya meraih tas ransel besar yang dia sandarkan di bangku, turun lalu mengulurkan tangan untuk berpamitan dengan Aska.

"Dah, Kak Aska," ucapnya kaku saat menghampiri ayahnya.

"Duluan ya, Ka...." ucap Jun.

"Oke, dr. Jun!" balas Aska sambil melambaikan tangan.

Askari's JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang