Di ufuk barat, langit sore yang tadi terlihat cerah, perlahan-lahan berubah mendung. Awan-awan hitam pekat tiba-tiba saja datang menggantikan langit yang tadi biru. Sementara itu, ombak pantai Padang masih seperti biasa, bergulung dengan hebatnya. Mereka saling berkejaran ke arah pantai, lalu serentak menghempaskan diri. Buih-buih putih bergulung-gulung, menari-nari, lalu kemudian hilang ditelan pasir putih.
Perempuan paruh baya itu --entah untuk yang keberapa kalinya--kembali melirik jam dinding yang tergantung di ruang tengah rumahnya. Tidak sampai setengah jam lagi, magrib akan menjelang. Sesekali matanya memandang ke luar pintu, terus ke halaman dan jalan. Seperti menunggu seseorang yang akan segera datang.
"Mak, bapak jadi pulang hari ini?" seorang gadis remaja tanggung tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya. Mendekati wanita itu yang kini sudah berdiri di depan pintu. Dari tadi dia berlaku seperti itu. Keluar masuk rumah sambil terus memperhatikan halaman dan jalan. Yang ditunggunya belum juga datang.
"Dua hari yang lalu bapakmu menelepon, siang ini kapalnya mendarat di Teluk Bayur. Seharusnya, dia sudah sampai di rumah sebelum asar tadi," ujarnya, lalu melangkah ke luar rumah. Memandang lurus ke laut lepas yang hanya berjarak dua ratus meter dari tempatnya berdiri sekarang. "Sebentar lagi magrib, panggil adikmu di pantai, sepertinya dia asyik sekali bermain bola."
Tidak menunggu perintah itu diulang, gadis itu berlari-lari ke pinggiran pantai.
"Hafis! Mak menyuruh kau pulang, sebentar lagi magrib!" teriaknya lantang, berusaha mengalahkan deburan ombak yang makin menggila.
"Ya, Uni!" seorang bocah lelaki berusia sekitar enam tahun yang sedang asyik bermain bola bersama beberapa orang temannya menjawab teriakannya. Anak lelaki itu kemudian memungut bola yang tadi digiringnya dengan kaki. "Kawan-kawan, besok kita main lagi ya? Sebentar lagi azan dikumandangkan, ayo pulang dulu!" katanya. Lalu berlari mendekati sang kakak yang tadi memanggilnya. "Uni, bapak sudah datang?" katanya begitu sudah sampai di samping kakaknya.
Yang ditanya hanya menggeleng. Lalu mereka melangkah menuju ke rumah. Rintik-rintik kecil mulai berjatuhan begitu mereka memasuki halaman rumah.
"Hafis, lekas mandi, sebentar lagi adzan. Hayati, Mak mau ke rumah Pak Leman sebentar, kamu siapkan meja makan, selepas magrib nanti, kita makan bersama," usai berkata, bergegas perempuan paruh baya itu melangkahkan kakinya. Perutnya yang besar karena sudah memasuki usia kehamilan sembilan bulan sama sekali tidak menghalangi langkahnya. Rinai yang mulai menderas juga tidak dihiraukannya. Ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Hayati, anak gadisnya itu tahu apa yang dipikirkan mak-nya. Bapak. Ya... bapak hari ini rencananya akan pulang, tapi sampai sekarang belum ada kabar beritanya.
Dia sebenarnya juga gelisah, hanya saja tidak begitu terlihat seperti yang dirasakan oleh ibunya.
***
"Apa yang dikatakan Pak Leman, Mak? Ada kabar dari Uda Zainal?" selesai shalat magrib, Hayati bertanya pada mak-nya. Dia juga khawatir, bukan hanya khawatir bapaknya belum juga datang hingga saat ini, tapi juga khawatir melihat wajah emak yang sejak sore tadi sangat tidak bersemangat. Uda Zainal, anak Pak Leman, sama-sama bekerja dengan bapaknya.
"Tadi pagi Zainal masih menelepon, katanya memang hari ini mereka akan pulang," perempuan itu melipat sajadahnya tanpa semangat. Sebuah pikiran buruk baru saja melintas di kepalanya, dia sudah berusaha menepis, tapi tetap saja pikiran itu tak mau pergi.
Di sudut ruangan, Hafis terlihat tengah asyik membaca Alquran.
"Assalamualaikum....! Bu Zubaidah! Assalamualaikum!!!"
Dari depan, terdengar teriakan keras memanggil namanya. Beberapa kali pintu depan diketuk keras dari luar. Bu Zubaidah, perempuan paruh baya itu bergegas bangkit menuju pintu depan, Hayati dan Hafis mengikuti dari belakang.
"Rahman, ada apa?" tanyanya begitu pintu terkuak. Pikirannya langsung tak tenang melihat roman muka Rahman.
Rahman, pemuda yang barusan mengetuk pintu berusaha mengatur nafasnya yang tersengal. Sepertinya dia barusan berlari-lari. Bisa jadi karena berita yang akan disampaikannya amatlah penting, mungkin juga karena ingin menghindari hujan yang memang akan turun sebentar lagi. Sesekali, petir memang telah mencanangkan hal itu, memberi peringatan kalau barisan hujan akan segera diturunkan.
"Bu Zubaidah..." ujarnya, masih mencoba mengatur nafasnya. "saya baru mendapat kabar, Kapal Baruna II tenggelam ditelan samudera."
Duaaarrr!!!
Petir menggelegar dengan dahsyatnya. Barisan hujan yang sudah bersiap sejak sore tadi berbondong-bondong jatuh ke bumi. Siap atau tidak, penduduk bumi tak bisa mencegah. Tak ada yang bisa mencegah terjadinya hukum alam.
Bu Zubaidah tiba-tiba berlari menerobos hujan. Susah payah dia membawa tubuhnya yang tengah hamil tua itu ke pinggir laut. Tak dipedulikannya hujan yang semakin deras. Di belakangnya, Hayati, Hafis dan Rahman berusaha mengejar sambil memanggil-manggil.
"Uda Syahruuuulllll....! Udaaaaa........!!" Bu Zubaidah berteriak sekuatnya. Tubuhnya jatuh tersungkur di pasir putih.
"Maaaakkkk!!! Maakkk!!!!" Hayati dan Hafis berteriak memanggil Bu Zubaidah. Keduanya ikut berteriak sekuat tenaganya saat melihat Bu Zubaidah sudah jatuh di atas pasir putih, tidak sadarkan diri. Tidak hanya itu, darah segar mengalir dari selangkangannya, membasahi baju dan menjalar ke betisnya. Sepertinya, perempuan itu akan melahirkan.
"Maaakk!!! Toloooongggg!!?" Hayati berteriak sekuatnya. Hafis menangis di samping emaknya. Hujan semakin lebat mengguyur bumi.
***
Sabar ya.... sambungannya akan diposting dalam waktu tak terlalu lama :D
KAMU SEDANG MEMBACA
DALAM PENJARA CINTA
General FictionHayati dan Hafis - dua orang kakak beradik- yang berjuang mengarungi pahitnya hidup di kota Medan. Berniat untuk bekerja di rumah makan milik pamannya agar Hafis bisa melanjutkan sekolah, diluar dugaan, pamannya memperlakukan mereka dengan sangat is...