"Yakin tidak ada lagi yang ketinggalan?" untuk yang ketiga kalinya, Bu Zubaidah mengingatkan Hayati dan Hafis yang sudah siap berkemas.
"Insyaallah tidak, Mak." jawab Hayati.
"Kamu Hafis?" ujar Bu Zubaidah.
"Mmm... Mak, tas Hafis ini dibawa atau tidak ya? Tapi kalau tidak, nanti Hafis pakai apa ke sekolah?" Hafis memperlihatkan tasnya yang sejak tadi ditimang-timangnya. Itu satu-satunya tas yang dimilikinya, tapi kalau dibawa...
Hayati dan emaknya saling pandang, kemudian sama-sama tersenyum.
"Tinggalkan sajalah, buat malu saja kalau dibawa"
"Tapi Mak..." Hafis kembali menatap tasnya yang sudah koyak sana sini itu.
"Nanti bilang sama Pak Etekmu, dia pasti mau membelikan yang baru."
"Da, belikan juga Mutia ya, Mutia kan juga mau sekolah," Mutia menyambung ucapan Bu Zubaidah. Hafis hanya mengangguk.
"Cepatlah, kalau sudah tidak ada lagi, kita berangkat sekarang, nanti ketinggalan kapal," kata Hayati.
Bertiga mereka pergi. Beberapa orang tetangga yang mengetahui keberangkatan Hayati dan Hafis ke Medan, sudah berkumpul di depan rumah. Mereka bersalaman, mengucapkan hati-hati di jalan dan semoga berhasil. Keakraban antar tetangga yang sama sekali tak akan dijumpai lagi oleh Hayati dan Hafis saat berada di kota nanti.
Dari Payakumbuh ini mereka harus ke kota Padang dulu, itu memakan waktu sekitar tiga jam. Kira-kira mereka sampai di Padang nanti jam sebelas, sedangkan kapal baru akan bertolak dari Teluk Bayur sehabis dzuhur, jadi sebelum kapal bertolak, mereka masih punya waktu sekitar dua jam untuk bersiap-siap agar tak terlalu buru-buru nantinya.
Hafis dan Hayati memang sengaja naik kapal, karena biayanya tidak terlalu mahal. Teman-teman bapaknya masih banyak yang mengenal mereka, apalagi yang sama-sama berasal dari Payakumbuh.
Sepanjang perjalanan dari Payakumbuh ke Padang, semuanya lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Zubaidah berharap anak-anaknya bisa menjaga diri dan selamat selama berada di negeri orang.
Hayati lebih banyak memikirkan emak dan Mutia nantinya. Tak ada lagi tempat emak berbagi cerita, tentu saja emak belum bisa mengatakan hal yang serius dengan Mutia. Tak ada lagi Hafis yang akan disuruh-suruhnya mengerjakan PR, tak ada lagi Hayati yang selalu kena tegur karena selalu lupa menutup kepalanya dengan kerudung kalau keluar rumah, tak ada lagi temannya tahajud tiap malam, puasa Senin - Kamis. Ah, emaknya pasti akan benar-benar kesepian.
Sebenarnya Hayati sangat berat meninggalkan emak dan Mutia, tapi demi Hafis, ya... semoga nanti Hafis bisa menjadi apa yang mereka harapkan. Semoga Hafis bisa membangkit batang terendam, begitu kata emaknya.
Lain dengan emak dan kakaknya, Hafis kini sedang membayangkan dirinya di sekolah baru nanti. Hafis berjanji, akan tetap jadi yang terbaik di kelas barunya. Dia akan selalu mengabarkan pada emak tentang nilai-nilai bagus yang diperolehnya. Setidaknya, satu surat setiap bulan akan selalu dilayangkan pada emaknya.
Ketiganya terbang bersama angan masing-masing, hingga tak sadar mereka telah tertidur, menyusul Mutia yang langsung tidur di pangkuan emak beberapa saat setelah bus berangkat tadi.
***
Hayati membuka matanya, sudah lebih dua jam dia tertidur. Hayati kemudian melayangkan pandangan ke laut lepas. Entah sudah berapa mil Ranah Minang mereka tinggalkan. Kemanapun mata dilayangkan, yang tampak hanyalah hamparan birunya laut. Hafis masih tertidur di sampingnya. Hayati melirik jam di pergelangan tangannya. Astaga... sudah hampir pukul enam sore. Buru-buru Hayati bangkit menuju kamar mandi, teringat kalau dia belum shalat Asar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DALAM PENJARA CINTA
Ficción GeneralHayati dan Hafis - dua orang kakak beradik- yang berjuang mengarungi pahitnya hidup di kota Medan. Berniat untuk bekerja di rumah makan milik pamannya agar Hafis bisa melanjutkan sekolah, diluar dugaan, pamannya memperlakukan mereka dengan sangat is...