--Mutia--
"Mak, jadi orang kaya itu enak, ya?" gadis kecil yang sedang makan dengan lahapnya di sudut dapur membuka percakapan. Tidak ada tanggapan dari perempuan yang dipanggilnya emak itu. Perempuan itu seperti orang yang sedang sakit gigi. Dari tadi diam-diam saja. Padahal dia tidak sibuk-sibuk amat. Hanya menggulai ikan. Gulai kesukaan seluruh anggota keluarga. Kemarin anak lelakinya --kakak gadis kecil itu-- yang memancing ikan itu di sungai dekat kaki bukit, tidak begitu jauh dari rumah mereka.
"Mak...?" merasa diacuhkan, si gadis kecil kembali menegur.
Bu Zubaidah -perempuan yang belum genap berusia lima puluh tahun itu-- tersenyum, menandakan dia memang tidak sakit gigi. Belum pernah ada sejarahnya orang sakit gigi bisa tersenyum kan?
Bu Zubaidah menoleh ke arah Mutia, gadis kecil yang tidak pernah diam itu.
"Kata siapa?" ujarnya sambil mengecilkan api di tungku. Gulai ikan itu sudah mendidih dengan sempurna. Kuah gulai yang kuning berminyak sungguh sangat menggoda selera. Gulai ikan --apalagi bagian kepalanya-- adalah masakan favorit di rumah mereka.
"Ya enak, mau apa-apa tinggal beli, baju, sepatu, mainan, boneka...." sambil nyerocos Mutia mencuci tangannya, meneguk segelas air putih, lalu melanjutkan ucapannya, "coba lihat kita Mak, beli baju hanya sekali setahun, saat lebaran, itu pun hanya buat Mutia, sedang Mak, Uni Hayati dan Uda Hafis jarang sekali."
Bu Zubaidah termangu. Hatinya sungguh terenyuh mendengar kata-kata itu. Tapi apa yang dikatakan si bungsu memang tidak salah. Pikirannya melayang. Nelangsa. Bayangan kehidupan masa silam bermain-main di pelupuk matanya. Dulu, sekitar enam atau tujuh tahun lalu.
Mereka dulu hidup berkecukupan. Mapan. Suaminya seorang pelaut, bekerja sebagai seorang Anak Buah Kapal dengan gaji yang lebih dari cukup, walaupun dalam sebulan belum tentu bisa pulang. Sekali suaminya berlayar, biasanya dalam tiga atau empat bulan baru bisa pulang ke rumah, itupun hanya untuk dua atau tiga hari. Sampai suatu ketika kecelakaan menimpa kapal tempatnya bekerja. Kapal itu tenggelam. Ada yang mengatakan karena badai besar, tapi ada juga yang mengatakan karena sang nakhoda membawa kapal dalam keadaan setengah tidur, hingga akhirnya menabrak karang. Suaminya tenggelam di telan samudera, sama sekali tidak ditemukan jenazahnya. Semua merasa yakin bahwa suaminya sudah dimangsa hewan buas di dasar laut bersama ratusan penumpang lain.
Sejak itulah hidup mereka berangsur-angsur berubah. Rumah mewah di pusat kota yang dulu mereka huni, telah dijual. Dibawanya dua orang anaknya ke kampung halaman, dan mendirikan gubuk seadanya. Waktu itu Mutia masih berada dalam kandungannya. Dan sedikit-demi sedikit, harta peninggalan suaminya beserta harta hasil menjual rumah mulai berkurang, hingga akhirnya habis sama sekali. Bu Zubaidah tidak mungkin lupa semua itu.
"Kemarin Rio dibelikan video game sama Abak-nya, Mutia lihat dia memainkannya, asyik Mak. Saat Mutia disuruh mencoba, Mutia menggeleng. Takut, Mutia pasti tidak bisa..."
"Mutia....!" ocehan Mutia dihentikan oleh suara panggilan dari halaman depan.
"Mak, Mutia main dulu ya? Itu pasti Sari!" setelah Bu Zubaidah mengangguk, bergegas Mutia meninggalkan dapur. Tak dilihatnya kelopak mata emaknya berair. Kalaupun dia melihat, pasti Mutia menyangka karena banyaknya asap dan bukan karena kata-katanya.
***
--Hayati--
Bu Zubaidah kini benar-benar memadamkan api di tungku, asap mengepul ke langit-langit dapur. Disekanya keringat yang mengucur di dahi, lalu menatap langit-langit dapur yang berwarna hitam pekat. Satu harapnya dalam hati, sebongkah emas jatuh dari langit-langit dapur itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DALAM PENJARA CINTA
General FictionHayati dan Hafis - dua orang kakak beradik- yang berjuang mengarungi pahitnya hidup di kota Medan. Berniat untuk bekerja di rumah makan milik pamannya agar Hafis bisa melanjutkan sekolah, diluar dugaan, pamannya memperlakukan mereka dengan sangat is...