"Uda, Mutia ikut ke pasar ya?" Mutia memperhatikan Hafis yang sedang menyusun kue-kuenya ke dalam sebuah baki besar. Ada empat jenis kue yang disusun rapi. Seperti biasanya kue-kue itu siap dibawa ke pasar sore yang memang buka tiap sore. Tadi pagi sebelum berangkat ke sawah, Hayati yang membuat aneka kue itu.
"Wah, tidak biasanya kamu ikut? Ada apa? Apa sudah bosan bermainnya?" jawab Hafis tanpa menoleh.
Biasanya, Mutia memang tidak pernah ikut, bukannya Hafis takut akan merepotkan, tapi Hafis cuma tidak ingin adikknya itu kehilangan waktu bermainnya. Bagaimanapun juga Mutia masih anak-anak, dan sebagian besar dari waktunya adalah bermain. Hal itu Hafis baca sendiri pada sebuah buku psikologi anak di perpustakaan sekolah. Kalaupun anak mau disuruh belajar, maka bentuk pelajarannya juga diberikan dalam bentuk permainan.
Dengan hobi membacanya itulah, cara berpikir Hafis sepertinya jauh melampaui anak-anak seusianya.
Hafis tidak ingin Mutia seperti dirinya dan Uni Hayati, yang sejak kecil hampir tidak pernah ada waktu untuk bermain. Keadaan yang memaksa mereka untuk membantu emak, itu kalau masih ingin melanjutkan hidup.
"Nggak. Mutia mau bantu Uda saja, masa Uda dan Ni Hayati tiap hari selalu bekerja, sedang Mutia selalu main, tak pernah membantu."
"Kamu itu kan masih kecil Mut, kerjaannya ya main."jawab Hafis seadanya.
"Apa Uda dulu juga seperti Mutia? Uda dulu waktu sebesar Mutia kerjanya hanya main?" Hafis terdiam, berusaha mencari jawaban yang tepat.
Hafis sendiri tak mungkin lupa saat dia dulu seusia Mutia. Dia hidup serba ada. Apa saja yang dimintanya selalu dibelikan emak dan bapak. Dulu mereka juga tinggal di rumah yang mewah, segalanya tersedia. Tapi takdir kemudian berkata lain. Bapak, lelaki paling dicintainya tiba-tiba dikabarkan hilang ditelan samudera. Segala kemewahan itu akhirnya ia tinggalkan karena emak kemudian mengajaknya pulang ke kampung halaman. Sejak itu kehidupan berubah.
"Dulu lain sama sekarang Mut, dulu mak nggak ada yang bantuin."
"Jadi Uda dari kecil udah bantu emak? Udah kerja?"
Hafis mengangguk. "Tapi bukan berarti Uda nggak main, sesekali Uda juga main, nggak selalu bekerja."
"Jadi boleh kan Mutia ikut?" Hafis tersenyum dan mengangguk.
Berdua mereka menuju pasar sore yang berjarak sekitar 1,5 km. Hafis meletakkan baki berisi kue-kuenya di atas kepala.
"Kapan ya Da, kita bisa kaya?" keheningan dipecahkan suara kecil Mutia. Si kecil itu memang tidak bisa diam. jika diadakan lomba Membuat Mutia Diam Selama 5 Menit, niscaya tidak akan ada yang jadi pemenang. Mutia itu kerjaannya bicara terus, ngomel apa saja, kadang nyerocos tak karuan. Burung beo di rumah Pak Mansur sepertinya jauh kalah cerewet dibandingkan Mutia.
"Kok nanya seperti itu? Memangnya kita ini miskin?" tanya Hafis. "Mutia masih makan tiga kali sehari kan? Masih bisa beli baju baru, masih punya sepatu, punya...."
"Tapi kan jelek, Uda."
"Yang penting kan ada, masih bisa pakai," jawab Hafis sambil melirik sandalnya. Dia sangsi, apakah sandal yang dipakainya ini masih bisa disebut layak pakai? Sandal itu talinya sebenarnya sudah putus, tapi entah dapat ide darimana, Hafis menyambungkannya dengan tali rafia, hingga masih bisa dipakainya.
"Tapi di kampung ini rumah kita paling jelek, hanya dari papan, satu-satunya rumah yang belum ada listriknya. Kita juga tak punya TV, kita...."
"Mutia, kita harus bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Allah pada kita, masih banyak orang lain yang tidak seberuntung kita. Dan ingat, semakin banyak harta yang kita miliki maka semakin besar nanti pertanggungjawabannya di akhirat." Mutia hanya diam, bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang dijelaskan Hafis. "Ingat cerita Ni Hayati beberapa malam lalu? Sebagai seorang pemimpin, kepala negara, berapa pasang baju yang dimiliki Rasululullah? Tapi beliau adalah orang paling bersyukur di atas dunia ini." Mutia kembali mengangguk-angguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DALAM PENJARA CINTA
General FictionHayati dan Hafis - dua orang kakak beradik- yang berjuang mengarungi pahitnya hidup di kota Medan. Berniat untuk bekerja di rumah makan milik pamannya agar Hafis bisa melanjutkan sekolah, diluar dugaan, pamannya memperlakukan mereka dengan sangat is...