3. MUTIARA TERPENDAM

38 3 3
                                    

Sebentar lagi matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Tapi cahayanya tidak begitu terik. Jauh di barat sana, langit biru sedikit bercampur dengan awan kelabu. Ada kemungkinan nanti akan turun hujan.

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan permadani hijau, yang membentang sungguh memesona. Semilir angin yang bertiup perlahan, membuat batang-batang padi yang masih berwarna hijau itu, bergoyang ke kiri dan ke kanan, sangat kompak, tak ubahnya seperti sebuah parade tari, dengan latihan yang sangat sempurna, dari seorang pelatih yang sangat profesional.

Di beberapa tempat tampak gubuk-gubuk kecil tanpa dinding, tempat para petani melepaskan lelahnya. Tapi tak semua yang memiliki sawah mempunyai gubuk seperti itu. Biasanya, di antara tujuh atau delapan petak sawah, terdapat satu gubuk kecil. Dan gubuk-gubuk itu seolah bukan milik pribadi lagi, karena siapa saja boleh duduk untuk beristirahat di sana. Namun, ada juga di beberapa bagian tak tampak satupun gubuk tempat berteduh.

Satu sosok kecil bocah usia SD tampak berlari kencang di atas pematang sawah. Dia masih memakai seragam sekolahnya. Sebuah tas yang sudah tidak jelas lagi warna aslinya -mungkin biru- dan sudah koyak sana-sini- ikut melompat-lompat gembira di punggung anak itu, seirama dengan laju larinya. Tangan kanannya menggenggam sebuah gulungan kertas. Dia berlari sangat gesit. Kecilnya pematang sawah, tak menyurutkan laju larinya. Dengan lincah dia membelok ke kiri dan ke kanan, sangat terlatih. Sama sekali tak cemas kalau nanti tiba-tiba kakinya terpeleset dan jatuh ke dalam lumpur.

"Mak...! Hafis juara...!" teriaknya kemudian.

Beberapa orang yang sedang asyik menyiangi rumput di sawah mereka, serempak berdiri memerhatikan anak itu. Mereka kemudian tersenyum. Semua orang mengenal Hafis, putra Bu Zubaidah, yang sudah ditinggal bapaknya sejak Hafis masih berusia enam tahun. Hafis adalah anak yang baik dan ramah. Tak ada yang tak menyukai anak itu. Selain suka menolong, Hafis juga sangat santun, penuh rasa hormat pada yang lebih tua, dan sangat menyayangi anak-anak yang lebih kecil darinya. Dia juga rajin, tak hanya belajar, tapi juga membantu mak dan kakaknya.

Sementara itu, Bu Zubaidah, langsung mencuci tangannya di pinggiran pematang, dan menyambut kedatangan Hafis di pinggir sawah, begitu Hafis sampai dia langsung memeluknya.

"Terima kasih ya Allah," ujar Bu Zubaidah. Dua bongkah kristal bening jatuh menuruni pipinya, bukan karena sedih, tapi karena haru dan bahagia yang menyeruak, bangga dengan putranya. Walau mereka miskin dengan harta, tapi Tuhan yang Maha Adil telah memberikan kekayaan lain pada mereka. Hafis dari kelas satu hingga kelas enam SD selalu dapat rangking di kelasnya. Tak pernah lari dari tiga besar. Bahkan sering jadi yang pertama.

"Mana ijazahmu, sini Uni lihat!" Hayati, yang tadinya turun ke sawah bersama Bu Zubaidah, telah hadir di dekat mereka. Dia membuka topi pandan lebarnya, rambut hitam panjangnya langsung tergerai, berkilauan ditimpa sinar matahari, lalu ikut duduk di pematang sawah.

Hafis menyerahkan gulungan kertas di tangannya. Hayati menerima dan langsung membuka.

"Ya ampun...!" mata Hayati melotot tak percaya begitu melihat deretan angka-angka yang tertera di kertas ijazah adiknya.

"Ada apa, Yat?" tanya maknya, sementara itu Hafis hanya tersenyum, bangga.

"Lihatlah Mak, nilainya di atas sembilan puluh semua, bahkan seratus untuk matematika," Hayati masih belum dapat menyembunyikan kekagumannya. Tapi tak lama kemudian senyumnya hilang. Matanya menatap jauh ke depan. Hatinya tiba-tiba terasa perih. Akankah nasib Hafis akan sama dengannya? Pendidikannya putus di tengah jalan karena masalah yang sangat sepele, sangat klise, tak ada biaya.

"Kata bu guru, itu nilai paling tinggi di kabupaten kita," Hafis berkata, dan itu semakin membuat hati Hayati bagaikan dicabik-cabik. Maknya yang melihat kegundahan di wajah Hayati langsung paham. Dia tahu apa yang sekarang sedang bermain-main di benak anaknya, dan bukan hanya Hayati yang merasakan itu, dia juga. Hafis baru saja lulus, dengan nilai ijazah tertinggi se-kabupaten. Tapi... apakah hanya harus sampai di situ? Ingin sekali dia anaknya melanjutkan ke tingkat yang lebih tingi. Tapi dengan apa harus dibiayainya? Sedang untuk menamatkan Hafis sampai SD saja rasanya sudah sangat susah.

DALAM PENJARA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang