Ruangan itu berukuran lima kali enam meter. Begitu masuk, maka yang pertama kali terlihat adalah sebuah meja yang di atasnya tersusun rapi beberapa buah buku, dua buah telepon yang berwarna putih dan merah. Di sudut kanan terdapat sofa, tempat menerima tamu. Sebuah dispenser tampak nangkring di sudut ruangan. Sementara itu di dinding belakang sofa, sebuah lukisan Jam Gadang dengan latar belakang gunung Singgalang tergantung dengan manisnya. Siapapun yang masuk ke ruangan itu, pasti bisa langsung menebak, kalau pemiliknya pastilah berasal dari Sumatera Barat, sebab nuansa serba Minangkabau terasa kental dalam ruangan itu. Tidak hanya lukisan berlatarkan gunung Singgalang, miniatur rumah gadang juga terletak di atas meja kecil di sudut lain.
Di balik meja tadi, di atas sebuah kursi empuk, seorang laki-laki berusia sekitar 40-an tampak sedang membolak-balik sebuah album di hadapannya. Lelaki itu berbadan gemuk, memakai kacamata, berkumis tebal dan rambutnya licin mengkilat, disisir rapi ke arah belakang. Lelaki itu memakai kemeja putih lengan panjang, dasi berwarna merah hati juga melilit lehernya, dan sebuah jas yang sewarna dengan warna celananya tergantung di sandaran kursi yang sedang didudukinya.
Sesekali dahinya mengerut, berpikir, tak lama kemudian membalik lagi halaman-halaman album itu, yang ternyata berisi foto-foto wanita muda. Saat itulah telepon yang berwarna putih berdering, tapi sama sekali tak dihiraukannya. Jika telepon putih yang berdering, itu artinya telepon dari para karyawan, jika telepon merah yang berdering, itu berarti telepon dari luar. Telepon putih berdering lagi, masih belum digubrisnya, dan pada deringan ketiga barulah telepon itu diangkatnya.
"Ya..." suaranya terdengar rendah, kurang bersemangat.
Lalu entah apa yang dikatakan orang di seberang, lelaki itu langsung mengubah posisi duduknya.
"Apa? Dua orang mengaku keponakanku?" lelaki paruh baya itu mengerutkan keningnya. "Coba kamu sebutkan ciri-ciri mereka."
"Baik, segera antarkan mereka ke ruanganku!" ujarnya setelah mendengar ciri-ciri orang yang sedang mencarinya, lalu kemudian meletakkan gagang telepon.
Keponakan? Keponakan yang mana? Lelaki itu mondar-mandir. Sebenarnya tadi dia sudah mau menyuruh pelayan yang meneleponnya agar segera mengusir kedua orang itu, mungkin pengemis yang mau minta-minta, pikirnya. Tapi saat mendengar karyawannya menyebutkan kata cantik sebagai salah satu ciri orang yang mencarinya, lelaki itu langsung berubah pikiran.
Tok... tok... tok...
"Masuk!" ujarnya. Lalu buru-buru memasukkan album yang sedang terbuka di mejanya ke dalam laci.
"Ini mereka, Pak." seorang pemuda dengan memakai kemeja bertuliskan Rumah Makan Salero Bundo di punggungnya masuk, lalu di belakangnya diikuti oleh dua orang, seorang gadis muda dan seorang bocah lelaki belasan tahun, masing-masing mereka menjinjing tas ransel yang kelihatannya berat.
"Tinggalkan kami, kalau ada yang mencariku katakan aku ada tamu." pelayan itu kemudian pergi.
"Pak Etek...? Pak Etek Sabri?" ucap si gadis yang ternyata adalah Hayati. Dua tas ransel di tangannya segera diletakkannya di lantai dan langsung menghampiri lelaki itu, lalu menyalami dan mencium tangan lelaki itu.
Lelaki di hadapan Hayati bingung. Pak Etek? Katanya dalam hati. Kata itu sungguh terasa asing baginya. Dia bertambah heran saat Hayati menyalami dan mencium tangannya. Pak Etek Sabri, batinnya dalam hati. Sesaat kemudian barulah sebuah senyuman terukir di wajahnya. Sabri... ya, dia mulai mengingat kembali nama itu, nama yang memang sudah hampir dilupakannya.
"Ayo duduk!" ujarnya, sangat ramah. "Maaf ya, aku sangat kaget dengan kedatangan kalian." kata lelaki itu setelah mereka duduk di sofa di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DALAM PENJARA CINTA
General FictionHayati dan Hafis - dua orang kakak beradik- yang berjuang mengarungi pahitnya hidup di kota Medan. Berniat untuk bekerja di rumah makan milik pamannya agar Hafis bisa melanjutkan sekolah, diluar dugaan, pamannya memperlakukan mereka dengan sangat is...