Seventeen

195 31 3
                                    

CLOSED

Dari kejauhan, Zasya bisa membaca tulisan itu dengan jelas. Zasya kembali menghembuskan napasnya. Rasanya ingin sekali menangis. Ia takut, jika noda merah itu akan berceceran. Apalagi, ini hari pertamanya.

Ia yakin bahwa masih ada beberapa mini market yang terbuka di luar sana. Masalahnya adalah ia sendiri tidak tahu mau keluar area kampus dengan apa. Jika berjalan kaki, itu sungguh mengerikan. Ia lebih baik berdiam diri di kamar mandi sampai pagi tiba dan Quinn datang membelikannya benda itu.

Dengan gontai, Zasya berjalan kembali menuju gedung asrama. Perasaannya tetap tidak tenang. Ini adalah kebodohan yang pernah ia lakukan. Zasya sudah mencatat baik-baik diotaknya. Jangan pernah lupa untuk membeli pembalut!

"Zasya Putri Arasyan! Kau tahu batas jam malam, bukan?"

Sial! Kenapa aku sampai melupakan itu? Ah, tapi aku tidak salah, ini keadaan yang darurat!

Zasya kemudian menoleh untuk melihat siapa yang menegurnya barusan. Sesaat kemudian, ia bernapas lega. Yang menegurnya ternyata Niall. Tapi, tatapan tajam Niall itu membuat nyali Zasya menciut untuk meminta bantuan. Ia tidak pernah melihat tatapan tajam dari Niall seperti ini. Benar-benar menakutkan.

"Uhm. Ini keadaan darurat, Nee. Sungguh. Dan... Uhmm, bi-bisakah ka-kau membantuku?" Zasya merasa sangat gugup. Tangannya bahkan bergetar.

Merasa terlalu jauh dari gadis keturunan Indonesia itu, Niall mendekatkan dirinya. Dari jaraknya sekarang, ia bisa melihat tangan Zasya yang gemetaran.

Niall pun mengambil tangan itu dan menatap Zasya penuh tanya dan sedikit khawatir. "Kau sakit?"

Wajah Zasya memang sedikit pucat. Tidak. Zasya tidak sakit, hanya saja ia takut dan gugup, jadi wajahnya memucat. Dan jangan lupakan jantungnya yang sedang beritme tidak karuan. Tangannya digenggam Niall dan Zasya ingin bersorak senang. Namun, keadaan darurat ini membuatnya harus menatap kenyataan yang sebenarnya.

Zasya pun menggeleng, membuat Niall tidak yakin karena tangan gadis itu masih gemetaran. "Kau yakin? Tanganmu juga dingin. Kau kenapa? Dan mengapa kau berada di luar asrama tengah malam seperti ini? Kau sudah melanggar, Arasyan."

"Apa mobilmu ada?" tanya Zasya mengabaikan segala pertanyaan Niall yang menurutnya tidak penting itu.

Niall mengangkat sebelah alisnya. Benar-benar bingung dengan gadis yang berada di depannya ini.

"Memangnya kau mau ke mana?"

Zasya menggaruk tenguknya yang tidak terasa gatal--tidak tahu ingin menjawab apa. Tentu saja ia akan malu jika mengatakan ingin membeli pembalut. Zasya lagi-lagi menarik satu tarikan napas yang panjang.

"Bisakah kau meminjamkannya padaku, Nee? Atau kau berbaik hati mengantarkanku?"

Niall gemas sekali dengan gadis yang ada di depannya ini. Ingin sekali mencubit kedua pipi gadis itu.

"Memangnya kau mau ke mana, Arasyan? Bagaimana aku bisa mengantarmu jika kau tak mengatakannya? Dan mengapa pula harus tengah malam begini?!"

"Ini darurat, Niall! Lelaki memang tak harusnya tahu!" Zasya memalingkan pandangannya sedikit kesal.

***

Karena perdebatan mereka tadi, akhirnya kedua manusia itu berakhir di sebuah mobil yang melintasi jalan raya yang tidak begitu ramai. Keduanya saling diam tanpa kata. Baik Niall, maupun Zasya tidak tahu ingin membahas apa. Apalagi Zasya yang masih kesal dengan Niall yang terus-terusan mendesaknya.

"Jadi, katakan, Arasyan!"

Baru saja dibahas, Niall lagi-lagi mendesaknya. Zasya menghembuskan napasnya kesal. "Kau tidak perlu tahu, Horan! Jangan mempermalukanku!"

"Memangnya itu hal yang memalukan?" tanya Niall polos membuat Zasya ingin mencakar wajah Nialk yang baby face itu.

"Tentu saja!"

"Kau terlihat kesal, Arasyan." Niall terkekeh.

"Ya, aku sedang kesal. Sangat kesal. Apalagi kepadamu!" Zasya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Kenapa kau tiba-tiba kesal? Padahal, tadi kau masih baik-baik saja. Ah, aku bingung dengan wanita. Sungguh, mereka punya perubahan emosi yang yang sangat hebat. Ap---"

"Diamlah, Niall. Fokus menyetir saja! Aku tidak ingin mati sia-sia denganmu," potong Zasya.

"Takkan kubiarkan kita celaka, babe. Aku masih punya impian yang cerah bersamamu," goda Niall.

Menurut Zasya, Niall sudah gila atau mungkin ia sedang mabuk. Tak ingin memperpanjang masalah Zasya memilih untuk diam sambil melihat kota London di tengah malam seperti ini.

"Kau ini kalau lagi kesal lucu sekali. Aku ingin sekali memakanmu. Sungguh!" celutuk Niall tiba-tiba.

"NIALL!"

***

Don't forget to leave vomments guys:)  and thanks for reading my story❤️

Book 2: University of 1DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang