.12.

70 9 0
                                    

Silvia terbangun dan mendapati dirinya terbaring lemah di atas ranjang kamarnya. Ia merasa mual dan lemas hingga pandangannya berkunang-kunang. Ia mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya yaitu saat Valmor menyantapnya dengan buas.

Ia merasa haus dan hendak bangun. Namuan tangannya terasa berat karena sebuah kepala menindihnya. Valmor tertidur di pinggir ranjang ketika menunggui Silvia. Gadis itu menarik tangannya hingga membuat pria itu terjaga.

"Silvia!" Ia tersentak kaget menatap wajah gadis itu. "Bagaimana keadaanmu?"

Silvia menghela nafas "Seperti yang kau lihat. Hampir mati kau santap."

"Silvia, maafkan aku. Aku tidak sadar seperti kerasukan."

"Aku haus." Potongnya sinis. Valmor langsung mengambilkan segelas air dari atas meja. Silvia meneguk air itu hingga habis.

Silvia menghela nafas lagi. Kini raut wajahnya sudah lebih rileks. Ia menatap Valmor "Maaf. Aku agak kesal atas ini semua. Aku tau kau tidak bermaksud melakukan itu. Mungkin aku kesal terhadap keadaan dan melimpahkan semuanya padamu."

Valmor mengangguk "Tidak apa-apa. Kau bisa memukulku jika itu akan membuatmu lega. Karena aku masih merasa bersalah padamu."

"Itu adalah tugasku. Kalian membayar mahal untuk ini. Justru akulah yang tidak professional."

"Kau terus membahas hal itu." Gumam Valmor. Silvia tidak memperdulikannya.

Tidak lama, seorang dokter datang bersama Valerie untuk memeriksa keadaan Silvia. Luka di lehernya tertempel plester putih berbentuk persegi. Itu tidak infeksi namun seperti seharusnya sebuah luka, terasa sakit jika tersentuh. Silvia meringis sakit saat dokter itu membuka sejenak plester tadi untuk melihat lukanya.

"Semua baik-baik saja. Asalkan obatnya diminum teratur, maka lukanya akan cepat sembuh." Jelas dokter berkacamata itu.

"Trimakasih, dok." Ucap mereka sebelum dokter itu pergi.

"Aku tidak apa-apa, ibu. Jangan khawatir." Silvia mengusap lengan Valerie.

"Andai saja kita tidak perlu melakukan ini. Melihatmu seperti tadi, membuatku sangat tersiksa." Air mata Valerie tidak dapat ia bendung.

"Ini tidak seburuk kelihatannya, bu. Aku bahkan sudah bisa bersekolah besok."

Valerie tersenyum padanya, lalu membelai rambut cokelatnya "Trimakasih telah menjadi putri yang baik, sayang."

***

Silvia mengenakan baju dengan kerah tinggi hingga menutupi lehernya. Upacara kemarin adalah rahasia umum di kalangan vampir. Upacara itu seakan menandakan Valmor sebagai pangeran sudah diangkat menjadi raja. Banyak mata meliriknya diam-diam. Kabarnya, ia akan menjadi sangat kuat. Namun gerak-geriknya terlihat biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.

Setelah upacara itu, Valmor merasa bersalah terhadap Silvia. Tidak seperti biasa, ia memilih untuk berjalan bersama adiknya, berjaga-jaga jika kesehatan Silvia tiba-tiba merosot maka ia ada di sana untuk menolong.

Baru beberapa langkah di dalam kampus, datang seorang wanita dengan pakaian sedikit terbuka mendatangi mereka. Ia melemparkan senyum jahil pada Valmor. Dan seperti biasa, seperti yang sudah ia rencanakan, Valmor langsung terlena padanya.

"Hai jagoan. Apa ini? Aku melihat otot-otot yang bertambah besar."

Valmor tertawa "Matamu terlalu jeli." "Katakan, apa yang membuatmu menghampiriku?"

"Hemm.. Hanya penasaran, apa yang kau rasakan setelah upacara itu." Ia melirik Silvia.

"Sebaiknya aku pergi." Gumam Silvia. Valmor menatapnya tidak enak.

DROP OF THE LIVING BLOOD (Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang