CHAPTER 03

751 69 8
                                    

Seorang pemuda tengah mematut dirinya di cermin yang ada di kamarnya. Pemuda itu hanya menggunakan celana panjang jensnya tanpa mengunakan baju. Hingga memperlihatkan tubuh atletisnya yang kian terbentuk.

Tangannya terulur menyentuh luka melintang di dadanya. Otaknya terus berpikir, sebenarnya luka apa itu.

Setiap pagi setelah mandi yang ia lakukan hanyalah mematut dirinya di depan cermin bertanya-tanya sebenarnya luka apa ini.

Setiap kali ia bertanya kepada orang tuanya jawabannya selalu sama. Itu karena kecelakaan yang ia alami tiga tahun yang lalu. Dan yang mengakibatkan ia kehilangan ingatannya.

Tapi pemuda itu yakin ada cerita lain di balik luka di dadanya. Tapi apa itu?".

"mau sampai kapan kamu berdiri di cermin terus gitu?" seorang pria setengah baya masuk ke kamar pemuda yang tengah mematut dirinya di depan cermin besar di kamarnya itu.

Senyum miris pria paruh baya itu sembunyikan di balik wajah yang hampir keriput saat netranya menatap luka melintang di dada remaja itu.

"kenapa apa ada yang sakit hemm?" tanyanya yang langsung mendapat gelengan kepala oleh remaja bernama Revan itu.

"tidak ada, Revan cuman memastikan sesuatu kok pa.. Lihatinnya gak usah sampai kayak gitu juga kali" Jawab Revano yang merasa risih dengan tatapan papanya.

"hari ini mau ikut papa ke rumah sakit tidak?, dari pada di rumah sendirian".

"hmmm boleh dech pak dokter Risyad yang terhormat" pria setengah baya yang tak lain bernama Risyad itu terkekeh mendengar ucapan Revano yang lebih mirip dengan sindiran itu.

"ya sudah kamu siap-siap dulu sana. Setelah itu cepat keluar kita sarapan bareng-bareng. Mama pasti sudah siapin masakan yang lezat buat kita".

"iya-iya dari tadi udah siap-siap kok. Tapi malah papa gangguin jadi lama kan.." Gerutu Revan sambil mengerucutkan bibirnya.

Membuat Risyad semakin tersenyum gemas untuk mengusak rambut anak itu yang sudah di tata dengan rapi. Alhasil rambut Revano kembali berantakan.

"ihh papa jangan di berantakin!" pekik Revano membahana di rumah sederhana itu. Revano menatap tajam Risyad yang sudah melipir pergi meninggalkan kamar Revano.

Dengan setengah hati Revano kembali merapikan rambutnya dan memakai kaos tanpa lengan berwarna putih polos dan juga tak lupa jaket hitam kesayangannya turut melekat di tubuhnya.

Setelah memastikan tampilannya sempurna Revano keluar dari kamarnya berjalan menuju ke meja makan.

"kenapa sih pa Revan kok teriak- teriak gitu..?" Dahlia bertanya ke suaminya yang baru saja keluar dari kamar putranya dan kini sudah duduk manis di kursinya.

"gak papa.." jawab Risyad setelah terdiam cukup lama. Entahlah pikiranya berhamburan kemana-mana.

"gak papa gimana? Pasti papa jahilin lagi ya..?" Dahlia menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku suaminya.

"mamaaa...!"

Belum sempat mulut Risyad menjawab pertanyaan istrinya, Revano sudah datang dengan wajah memelasnya. Merengek seperti anak kecil. Bahkan bibirnya sudah mengerucut lucu.

"apa sayang.. Sini peluk mama.." Revano langsung memeluk Dahlia mamanya yang gemas melihat tingkah manja Revan..

Tapi mata Revano melirik tajam ke arah Risyad yang sudah menikmati sarapannya tanpa perduli drama antara anak dan ibu di depannya. Baginya ini sudah hal yang biasa terjadi di keluarganya.

"papa nakal.." Adu Revano seperti anak kecil yang sehabis di jahili oleh teman-temannya.

"ulululu anak mama di apain sih tadi kok sampai cembeeut gini. Iya-iya nanti papa sambelin biar gak nakal lagi sama Revan.

Sekarang Revan duduk sini dulu. Kita sarapan bareng.."

"wuahhh sup ayam!" pekik anak itu Girang dengan mata yang berbinar. Melupakan sejenak kejengkelanya ke Risyad papanya.

Sementara Risyad sudah mendegus dari tadi melihat tingkah Revano. Hatinya menghangat sekaligus sakit melihat Revano dan istrinya tertawa tanpa beban.

Tidak. Tapi dirinya dan sang istri yang menyembunyikan kesedihan mereka. Mereka tak mau Revan melihatnya dan berakibat menurunnya kondisi anak itu.

Bahkan mereka tak jarang merenung setiap malam. Saat teringat akan kejadian tiga tahun yang lalu.

"papa..pa..!"

"ehh i..iya ada apa..?" Risyad manatap anak dan istrinya yang juga menatapnya dengan penuh tanda tanya.

"ayo berangkat kita sudah telat" lagi-lagi Revano menggerutu tak jelas saat menemukan Risyad papanya malah asyik dengan lamunanya dan mengabaikannya lagi.

Revano langsung mengambil bekal yang sudah di siapkan oleh Dahlia lalu langsung melenggang pergi setelah berpamitan dengan Dahlia.

Melihat Revano yang sudah melenggan pergi, Risyad langsung menyusulnya setelah berpamitan dengan sang istri yang sedang membereskan alat-alat yang tadi di gunakan untuk sarapan keluarga kecilnya.

Setelah Dahlia memastikan anak dan suaminya pergi, ia menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi yang tadi ia tempati mengabaikan tumpukan piring kotor yang sudah menunggunya untuk di bersihkan.

"maafin mama Revan. Mama lakuin ini demi kamu. Mama harap kamu tidak marah setelah ingatanmu kembali.

Mama harap kamu masih mau berada di samping mama, setelah apa yang mama lakuin ke kamu. Mama tulus sayang sama kamu.. Jangan tinggalin mama.." runtuh sudah pertahannya sejak tadi.

Hidupnya tak pernah tenang setelah apa yang ia lakukan tiga tahun yang lalu.

Sementara itu Revan dan Irsyad di dalam mobilpun mereka hanya terdiam. Revano membuka kaca jendelanya yang langsung menampakkan keasrian sebuah desa terpencil yang kini mereka tempati dan itu sangat jauh dari keramain kota.

Jikapun ia ingin ke kota membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam lamanya. Di sini juga tidak ada kendaraan seperti mobil yang kini mereka tumpangi.

Mayoritas penduduk di desa ini menggunakan sepeda atau motor untuk perjalanan mereka. Yang punya mobilpun hanya beberapa orang mungkin tak sampai tujuh orang.

Risyad sesekali melirik Revano yang asyik dengan pandangan yang di sajikan oleh jalanan yang mereka lewati.

"Revan apa kamu bahagia..?" tanya Risyad tiba-tiba. Untuk membunuh rasa bosan di antara mereka karena biasanya Revano selalu mengoceh ini itu.

Revano menoleh ke arah Risyad menatapnya aneh. Apa menurutnya ia tak bahagia selama ini. Tentu saja ia bahagia. Meskipun sujujurnya ada ruang kosong di hatinya.

Rasa rindu yang datang entah untuk siapa selalu mengganggunya. Revan juga kerap kali merasa kesepian.

Padahal ia sudah bersama orang tuanya, tapi entahlah. Revan juga tak tahu kenapa seperti ini. Seolah-olah ia tinggal dengan orang asing.

Tapi kalau ada yang bertanya apa ia bahagia, tentu saja ia bahagia. Revan merasakan ia terbebas dari berbagai masalah entah apa itu namanya.

"papa ngomong apaan sih. Yah jelas Revano bahagia di sini . Pemandangannya bagus dan juga ada mama dan papa di sini. Jadi apa yang menjadi alasan Revan tak bahagia disini".

"syukurlah kalau kamu bahagia.." lirih Risyad yang masih bisa di dengar oleh Revan.

"papa sedang tidak menyembunyikan apapun dari Revan kan..?".

"ma..maksud kamu..?" Risyad mendadak gugup mendengar lontaran dari pertanyaan Revano.

"entahlah, aku cuman ngerasa kalian sembunyiin sesuatu dari Revan.."


Sabtu, 02 mey 2020

Tbc.

Remember USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang