ii.

61 4 2
                                    


━━━━━⊰⊱━━━━━

Pagi itu, aku memutuskan untuk olahraga santai dengan bersepeda mengelilingi perumahanku. Di sekitarnya saja, tak perlu jauh-jauh, asalkan aku bisa sendiri. Asalkan aku bisa bernafas tanpa sesak. Asalkan tak ada lagi suara yang memekikkan telinga.

Mungkin aku mulai beraktivitas terlalu pagi, mentari baru saja menunjukkan sinarnya sehingga di sepanjang jalan hanya ada aku seorang. Selain bunyi sepeda dikayuh, yang terdengar hanya suara hembusan angin dan detak jantung sendiri. Sepi, sempurna.

Aku mengayuh sepeda melewati setiap jalan kecil yang ada, terus mengitari perumahan bahkan sampai ke tempat yang belum pernah kulewati karena lokasinya yang lumayan jauh dari rumahku. Sesekali meneduh di bawah bayang-bayang pohon ceri yang ada di pinggir sebuah rumah untuk melepas dahaga, sembari memperhatikan jalan mana lagi yang harus kulewati sebelum akhirnya pulang.

Sebelum itu, kusunggingkan senyum simpul pada diri sendiri, merasa bangga akhirnya menjalani kehidupan—walaupun sejenak—selain menghabiskan waktu di kamar menatap dinding dengan tatapan kosong dan menangis tanpa sebab untuk kesekian kalinya. Jika saja lingkungan ini tidak selalu ramai di saat aku ingin melakukan aktivitas, mungkin keseharianku bisa menjadi produktif. Karena untukku, menghabiskan waktu dengan diri sendiri terasa nyaman. Kuyakin bukan aku seorang diri yang suka rasanya sendirian tanpa merasa kesepian.

Tiga puluh menit menuju jam sembilan pagi, akhirnya aku berhenti di pinggir lapangan futsal dan duduk pada salah satu bangku kayu yang melingkari sebuah pohon besar di tengahnya. Terdapat sekumpulan anak laki-laki seumuranku—beberapa dari mereka masih kecil, mungkin masih duduk di bangku sekolah dasar—sedang bermain sepak bola. Kukira bakal lebih ramai dari itu, nyatanya tidak. Entah ke mana para warga yang biasanya lari pagi atau sama bersepeda denganku mengelilingi perumahan, hari itu terasa seperti pengecualian bagi mereka untuk beraktivitas di pagi hari, padahal sudah di akhir pekan. Hanya beberapa orang saja yang kujumpa di jalanan, itu juga hanya ibu-ibu yang sedang momong anak-anak mereka di depan rumah masing-masing.

Di dalam hati, ketahuilah, kuharap setiap hari bisa seperti hari itu.

Setelah menstandarkan sepeda di dekatku, aku mengambil botol minum yang kubawa dan kuteguk habis airnya, sampai tetes terakhir saking hausnya. Kemudian aku mengelap keringat yang menetes di kening dan leher lalu merapihkan kuncir rambutku, mengikatnya kembali menjadi kuncir kuda yang sempurna.

Tak lama sehabis itu, saat satu tim mencetak gol dan berselebrasi layaknya pesepakbola profesional, salah satu dari mereka yang terlihat bertelanjang kaki berlari kecil ke arahku—eh, tidak ke arahku juga, sih. Lebih tepatnya ke sisi lain dari bangku yang kududuki, yang setelah kuperhatikan ternyata ingin mengambil sepatunya, lalu duduk di sebelahku. Tidak berdekatan, terpisah jarak sepanjang lengan. Aku hanya mengabaikan kehadirannya dan lekas mengambil botol minum saat kurasa kerongkonganku kembali kering, tetapi sesudah kubuka tutupnya baru sadar kalau airnya sudah kuminum habis sesaat yang lalu.

Aku menghembuskan nafas gusar, kecew—

"Dukung tim yang mana, Mbak?"

Sontak kutolehkan kepala ke arah sumber suara. sambil mengikat tali sepatu, kamu mengarahkan pertanyaan itu kepadaku rupanya. Aku hampir tersedak, karena satu: kamu baru saja memanggilku dengan sebutan 'mbak', dan dua: pertanyaan itu terdengar konyol setidaknya untukku, seakan-akan yang kusaksikan sedari tadi adalah dua tim sepak bola kebanggaan negeri ini, padahal jelas bukan karena salah satu pemainnya bermain tanpa sepasang sepatu, dan tim satunya beranggotakan bocah-bocah dengan jumlah dua kali lipat lawannya yang berbadan lebih tinggi dari mereka.

Namun, hanya "apa?" yang bisa kulontarkan sebagai respons.

"Hehe," kamu tertawa kecil menanggapinya. "Enggak, enggak. Kirain lagi nontonin kita."

Aku tersenyum simpul sebelum menjawab, "Enggak kok, gue mau istirahat aja di sini."

"Bagus, deh." Katamu, sambil melambai-lambaikan tangan seakan mengusir lalat begitu temanmu berteriak, menanyakan masih mau main atau tidak. "Kalau nontonin kita, nanti malah jadi capek lagi karena ternyata mainnya enggak seseru yang diharapkan."

Aku tertawa renyah sambil menengok ke arah teman-temanmu yang kembali bermain dengan riuh. Canggung rasanya, bertemu orang baru yang ternyata ramah sepertimu. Lantaran setiap terjebak dalam situasi seperti saat itu, yang kuterima biasanya hanyalah tatapan sinis tanpa sebab, jelas berbeda dari sikapmu terhadapku.

Percakapan kita pun mengalir begitu saja setelahnya, aku memilih untuk menunda pulang meskipun rasa lelahku telah hilang, dan lebih memilih untuk terlibat dalam percakapan acak denganmu.

Lupakanlah fakta bahwa kita belum mengenal satu sama lain saat itu.

Kemarin yang Tak BerlaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang