Sudah satu bulan sejak Jaemin diantar pulang oleh Jeno, tapi tidak ada yang berubah.
Jaemin berusaha untuk mendekati Jeno perlahan. Jaemin bukan orang yang suka mendeklarasikan kalau dia menyukai seseorang. Dia lebih memilih menyimpannya dalam hati dan bergerak perlahan.
Jaemin selalu mencoba menyapa Jeno setiap hari. Mengajaknya ngobrol singkat. Bahkan akhir-akhir ini Jaemin jadi rajin mampir ke divisi Taeyong.Tapi apa yang ia dapat dari hasil pendekatanya dengan Jeno selama ini, nol besar. Jeno sulit ditebak, dan dia seakan menutup diri. Jaemin yang awalnya bersemangat, lama kelamaan menjadi redup semangatnya, dan kejadian hari ini membuat Na Jaemin menyesali pilihan hatinya.
Jaemin dan Haechan sedang diskusi, saat Haechan tiba-tiba memanggil Jeno untuk memberi data tambahan.
"Ini Chan, datanya. Hai Jaem. Sendirian aja?" tanya Jeno.
"Nggak kok, lagi sama Haechan." Jawab Jaemin bingung.
"Maksudnya nggak sama Jisung apa Renjun gitu."
"Oh...mereka sibuk."
"Tapi Renjun ada kan di kantor?" tanya Jeno membuat Jaemin bingung.
"Ada kok di mejanya."
"Okay. Thanks for your info, Jaem." Jeno tersenyum lalu meninggalkan Jaemin dan Haechan. Jaemin memandangi punggung Jeno, yang sedang menuju ruangan lain. Jeno berhenti di meja Renjun, dan Jaemin bisa melihat dengan jelas raut bahagia di wajah Jeno. Somehow itu membuat dadanya terasa sesak. Bukan karena betapa indahnya wajah bahagia Jeno, tapi lebih kepada apa yang membuat Jeno sebahagia itu.
Jaemin berusaha mengembalikan konsentrasinya pada pekerjaan, tapi tidak bisa dipungkiri pikiran-pikiran konyol mulai hinggap di kepalanya.Selesai dari tempat Haechan, Jaemin langsung menghampiri meja Renjun.
"Kenapa Na?" tanya Renjun saat melihat wajah Jaemin yang tidak biasa.
Jaemin terdiam sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk menunda pertanyaannya ke Renjun.
"Nggak ada apa-apa. Nanti makan siang kita ke kafe depan aja yuk." Ajak Jaemin.
"Ah...aku nggak makan bareng ya. Tadi Jeno ngajak ke luar, minta ditemenin cari sesuatu untuk laporan sambil makan siang."
Nafas Jaemin tercekat, tapi dia berhasil membuat wajah normal.
"Oh, okay, aku sama Jisung aja kalo gitu."
"Sorry ya Na."
"It's Okay. Urusan pekerjaan lebih penting." Jawab Jaemin.
Di meja, Jaemin hanya memandangi layar komputernya. Hatinya berdegup terlalu cepat, kepalanya sakit akibat pikiran-pikiran bodoh yang hinggap.
Akhirnya Jaemin bangun dan menuju ke kamar mandi. Mencuci muka mungkin akan menyegarkan pikirannya.Saat berjalan melewati Pantry, Jaemin mendengar suara Jeno. Ia berhenti untuk mendengarkan apa yang dikatakan Jeno.
"Iya resevasi untuk siang ini, dua orang ya. Jam 12 an kami sampai. Ya, atas nama Lee Jeno. Menunya yang biasa aku pesan. Spesial menu ya. Okay. Thanks ya."
Jaemin yang menyadari Jeno sudah selesai bicara, langsung menuju ke kamar mandi.
Jeno memesan tempat untuk makan siang. Jeno akan makan siang dengan Renjun...dan dia memesan tempat...tapi kata Renjun dia minta ditemani untuk mencari bahan laporan...
Jaemin tidak bisa mencerna semua yang melintas dikepalanya. Jaemin membasuh mukanya, mencoba untuk menenangkan diri, tapi percuma. Kepalanya malah jadi sakit sekali.Kembali ke meja, Jaemin menatap Renjun yang sedang sibuk bekerja.
Renjun memang menarik. Bahkan saat ini, tidak terlihat bahwa dia adalah ayah dari dua orang anak.
Jaemin kemudian menatap bayangannya sendiri di layar komputer.
Plain.
Biasa saja. Bahkan terkesan membosankan.
Dibandingkan dengan Renjun, dia tidak ada apa-apanya. Wajar kalau Jeno melirik Renjun, dan bukannya dia. Hati Jaemin tambah sakit saat melihat Jeno berjalan menuju meja Renjun.
Salah Jaemin juga sampai detik ini dia tidak pernah jujur ke Renjun kalau dia menyukai Lee Jeno, jadi Jaemin tidak bisa menyalahkan Renjun yang menerima ajakan Jeno.
Kalau Renjun tahu, pasti dia akan menolak, atau mengajak Jaemin ikut. Andai saja Jaemin lebih terbuka.Selesai jam makan siang Renjun belum juga kembali. Jeno juga belum terlihat di mejanya. Tangan Jaemin sedari tadi rasanya ingin menelepon Renjun, tapi untungnya Jaemin masih bisa menahan diri.
Satu jam kemudian baru Renjun kembali. Mereka berjalan beriringan sambil tertawa. Hati Jaemin terasa sakit lagi saat menyadari bahwa mereka terlihat serasi.
Jaemin berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengalihkan pikirannya dari Renjun dan Jeno.Saat pulang kantor Jaemin memutuskan untuk mampir dulu ke kedai di dekat rumahnya. Sudah lama dia tidak minum sendirian. Biasanya selalu ada Renjun atau Jisung yang menemani.
Jaemin mengisi gelasnya sambil menatap mangkuk berisi tteokboki didepannya.
Setelah menghabiskan satu botol, air mata Jaemin tidak terbendung lagi. Dia membenamkan wajahnya dilengannya, bersembunyi dari tatapan orang, dan menangis dalam diam.
Sudah lama Jaemin tidak meraskan hal seperti ini.
Terakhir waktu ia baru masuk kerja. Ia diputuskan oleh kekasihnya sejak jaman kuliah. Ten, mantan kekasihnya, meninggalkannya karena Ten bosan dengan Jaemin yang serius. Entah bagaimana caranya saat ini Ten berkencan dengan bos Jaemin sendiri, Jhonny.
Butuh waktu lama bagi Jaemin untuk melupakan Ten. Renjun dan Jisung yang membantu Jaemin untuk bangkit.Tangisan Jaemin akhirnya reda, ia pun mengangkat wajahnya dan disambut oleh tatapan cemas dari seseorang di meja seberang. Jaemin buru-buru menghapus jejak air matanya. Orang itu tersenyum dan menghampiri meja Jaemin.
"Boleh aku duduk disini?"
Jaemin berusaha untuk tersenyum.
"Sejak kapan ada disini?" tanya Jaemin sopan.
"Sejak kamu mulai menutupi wajahmu dan menangis." orang itu duduk dan meletakkan botol serta gelasnya di meja.
"Mengapa kamu menangis sendirian, Na Jaemin?" tanya orang itu sedih. Jaemin jadi salah tingkah.
"Terkadang...ada saatnya kita menangis, untuk meringankan beban pikiran kita, Mark hyung." Jaemin menjawab. Ya, yang duduk didepannya saat ini adalah Mark Lee, manager tetangga.
"Baiklah, aku akan mencoba untuk mengerti alasan itu. Tapi lain kali, saat kamu mau menangis, aku harap kamu mau menelepon ku. Aku akan datang dan menemanimu, kalau bisa aku akan menghentikan tangisanmu bahkan sebelum dimulai." Mark menatap Jaemin lekat. Matanya menunjukkan bahwa ia sedih. Melihat simpati dari Mark membuat Jaemin berusaha untuk bangkit dan tersenyum. Ia tidak mau orang lain ikut sedih.
"Terimakasih, Mark hyung, aku akan ingat itu."
"Senyuman memang paling cocok dengan wajahmu, Na Jaemin." puji Mark yang entah kenapa membuat Jaemin tersipu malu.
Mark menuangkan soju ke gelas Jaemin dan gelasnya.
"Untuk Na Jaemin, semoga ia akan terus tersenyum dan tidak akan menangis sendirian lagi." Mark mengangkat gelasnya, mengajak Jaemin bersulang. Dengan wajah merah karena malu, Jaemin mengangkat gelasnya dan ikut bersulang.
Malam itu Jaemin dan Mark hanya minum dan makan, tanpa percakapan yang berarti, seakan Mark mengerti bahwa Jaemin hanya butuh seseorang menemaninya, bukan menceramahinya.
Pasti akan berbeda bila dengan Renjun. Sahabatnya itu akan ceramah panjang lebar. Mengingat Renjun, Jaemin jadi teringat Jeno. Perasaan sedih mulai datang lagi, tapi Mark yang siaga langsung mengalihkan pikiran Jaemin, membuatnya tersenyum lagi.
Mark akhirnya mengantarkan Jaemin pulang. Ada untungnya Jaemin tidak membawa motor hari ini.
"Mark hyung, terimakasih atas tumpangannya." Jaemin berpamitan.
"Terimakasih juga sudah berhenti menangis dan tersenyum kembali, Na Jaemin." Jawab Mark.
Jaemin memberikan senyuman terbaiknya untuk Mark.
"Istirahat yang cukup. Jangan menangis lagi. Telepon saja aku kalau kamu ingin menangis. Sampai jumpa besok Na Jaemin."
Jaemin tersenyum dan melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam rumah. Setelah yakin Jaemin masuk, Mark baru mengendarai mobilnya pulang.*tbc*
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihatlah Aku Disini, Lee Jeno
FanfictionSekalinya Na Jaemin jatuh cinta, ia terjatuh untuk Lee Jeno, anak baru yang matanya hanya tertuju kepada Huang Renjun, sahabat Na Jaemin yang sudah berkeluarga. Akankah Na Jaemin berhasil menarik perhatian Lee Jeno?