Babak I
Lembang, 1997
Namaku Adam, Adam Bhagawandas. Usiaku dua belas tahun. Aku duduk di kelas 2 SLTP saat kamu membaca ini. Tahun 1997 Lembang rasa Rusia pada musim gugur, kata Ayahku. Suhu selalu nyaris 16 derajat celcius pada tengah hari terik. Bicara soal Ayahku, beliau adalah seorang Pelancong, kata Ibu dia bekerja pada suatu Organisasi pecinta satwa dunia, menjadi seorang fotografer alam. Aku tidak pernah tahu persis apa yang Ayah lakukan dengan pekerjaannya, Ayah hanya pulang satu tahun sekali, sisanya aku sering dikirimi hasil jepretan Ayah melalui surat yang dikirimkan lewat pos. aku menyukai Ayahku, asal kamu tahu, beliau berkewarganegaraan India, Ayahku bernama Aryaan Khan. Kulitnya coklat terbakar sinar mentari, giginya rapi ketika tersenyum saat melihat Ibuku, rambutnya sedikit ikal, dan tidak pernah dirapikannya dengan minyak, atau gel rambut. Ayahku mencintaiku, Ibu, dan juga adikku, sejauh ini, sejauh yang aku tahu.
Ibuku Atisa Kusumah, seorang gadis Sunda asli Cianjur. Berwajah cantik khas Priangan, kulitnya bersinar kekuningan, rambutnya hitam lurus, memiliki lesung pipit yang indah di kedua pipinya. Beliau dinikahi Ayahku saat masih kuliah di IKIP Bandung. Ayah yang sedang melancong ke daerah Setiabudhi nampaknya terpikat oleh gadis berwajah ayu. Ibuku adalah seorang guru Bahasa Indonesia santun yang dinikahi seorang pelancong urakan asal negeri seberang. Kisah cinta keduanya manis, aku pernah membayangkan akan bertemu dengan gadis semacam Ibu waktu muda-aku mengetahui itu dari koleksi foto Ayah-setidaknya dulu, sekarang aku sudah tidak ingin membayangkan apapun tentang kisah cinta mereka apalagi bermimpi ingin seperti Ayahku.
Anggi, adikku. Usianya tujuh tahun, baru kelas dua SD. Rambutnya panjang, melebihi panjang teman-teman seusianya. Kata Ibu-sewaktu aku bertanya mengapa aku tak dibiarkan memiliki rambut sepanjang rambut Anggi waktu itu-Ayah menyuruhnya, karena sebagian dari budaya India. Anggi lucu, kulitnya tak secoklat kulitku atau Ayah, tidak juga sekuning kulit Ibuku. Kata Ibu (lagi) itu adalah jenis kulit sawo matang. Adikku senang bermain boneka, ia seperti tidak pernah diijinkan untuk berlaku sepertiku, maksudnya ia tidak pernah bermain kelereng, memanjat pohon mangga Haji Ahmad, atau berenang di parit. Anggi selalu bermain dengan anak perempuan lagi, memakai gaun, dan rok. Kadang ia bermain kotor-kotoran dengan tanah, itupun katanya masak-masakan. Aku tak menyukai itu. Aku menyayangi Anggi, Anggi adalah adik yang penurut dan manis. Ia ceria, tak pernah menangis, kecuali saat terjatuh atau sedang rindu dengan Ayah, dia akan menangis sesenggukan di hadapan telepon. Namun semakin hari, aku tak pernah melihat Anggi seperti biasa lagi.
Aku Adam, Anggi, Ayah, dan Ibu, aku sayang mereka, namun ternyata rasa itu saja tidak mencukupi untuk saling menguatkan satu sama lainnya.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Rumah (7/7)
General FictionSebuah rumah layaknya diisi oleh keluarga. Entah terdiri dari berapa orang, kuantitas penghuni rumah tak pernah dibatasi. Ini adalah sebuah cerita bersambung yang dinarasikan oleh salah satu anggota keluarga-- Adam-- seorang anak lelaki akan memba...