Babak Penutup

558 64 32
                                        

BABAK PENUTUP
Here I am, 2017

Hai gue Adam, 20 tahun yang lalu gue bernarasi tentang rumah gue, rumah dalam artian kehidupan di dalam rumah gue, ada Anggi, Ibu, dan Ayah. Kini, usia gue 32 tahun, sudah tidak bisa disebut lagi anak-anak (YA KALI).

Kabar gue baik-baik aja, kalau kalian ingin tahu. Jadi, cerita tentang perceraian Ibu Ayah ini sangat amat membuat kehidupan gua berubah. Kehilangan sosok Ayah, menjadikan gue lebih-lebih menyayangi keluarga gue yang isinya cuma Ibu sama Anggi doang. Mereka kekuatan buat gue, sekaligus ketakutan. Dari kejadian itu, gue otomatis berpikir bagaimana membuat Ibu bahagia, juga adik gue. Gue jadi sadar, ternyata tanggung jawab Ayah turun ke gue, bukan sedikit lagi, melainkan banyak.

Hubungan gue dengan Ayah baik-baik aja Alhamdulillaah, semenjak Ayah pergi hari itu, beliau gak pernah kembali lagi ke rumah kami. Tapi gue beruntung banget Ayah masih rutin menghubungi kami. Hubungan Ayah-Ibu juga tidak seburuk yang gue duga waktu itu, terlebih Ibu. Setelah ditinggalkan Ayah, Ibu tidak baik-baik saja, tentunya. Gue sedih, Ibu banyak murung, sering ketahuan nangis sendiri di kamar. Tapi seiring berjalannya waktu, Ibu kembali seperti biasa, kata Ibu kehilangan Ayah memang berat, tapi tak apa, asal gue dan adik ada bersama Ibu. Omong-omong, Ayah sering berkirim surat, seperti saat sebelum orang tua gue bercerai dulu, lalu beberapa bulan kemudian, kami beralih ke telpon rumah. Kami rajin memberi kabar, gue akhirnya tahu kalau Ayah gak lagi bekerja jadi fotografer alam lagi, Ayah menetap kali ini di Jaipur, kampung halamannya. Gue sedih sewaktu Ayah berhenti dari pekerjaannya, padahal dari situ gue ingin seperti Ayah, Ayah juga kayaknya sedih waktu cerita tentang itu ke gue, bagaimana pekerjaan yang dicintainya harus beliau lepaskan. Ayah sudah menikah lagi, dengan wanita India, terakhir gue ke Jaipur—oh iya karena pekerjaan juga gue sering bertemu Ayah di India—gue ketemu adik tiri gue, usianya 15 tahun, dia cewek. Ayah terlihat bahagia dengan keluarga barunya, itu juga jadi motivasi buat gue untuk membahagaiakan Ibu.

Bicara tentang bagaimana bisa Ayah bercerai dengan Ibu, alasan ini yang buat gue juga memaklumi pilihan mereka untuk bercerai waktu itu, meski awalnya gue gak terima. Ayah menikahi istrinya yang sekarang adalah alasan mengapa Ibu dan Ayah bercerai. Bukan, bukan masalah rebut merebut suami, yang pada zaman sekarang dikatakan sebagai pelakor, ibu tiri gue tidak begitu. Gue bukan membela, tapi keluarga Ayah memiliki hutang budi terhadap keluarga istrinya, dan mengalirlah tanggung jawab itu kepada Ayah yang merupakan anak lelaki satu-satunya di keluarga. Untuk kalian ketahui, Ayah dan Ibu menikah tanpa restu dari Nenek dan Kakek gue, begitu katanya. Gue sudah denger cerita, bagaimana Ayah pun berusaha menolak untuk dinikahkan, Ayah cerita kepada Nenek dan Kakek kalau diapun memiliki keluarga di Indonesia, tapi nasib emang harusnya begini, mereka malah nyuruh Ayah poligami. Seperti yang kalian ketahui, hari-hari di mana Ibu sakit mengurung di kamar adalah dilema terbesarnya, dan Ibu akhirnya memilih bercerai, daripada dipoligami.

"I told Ibu, Ayah love her with all my heart, tidak ada yang berubah tentang Ibumu di mata Ayah, as you know kami menikah tanpa restu dari orang tua Ayah. Tapi Ibumu wanita kuat, ia tidak apa aku tinggalkan jauh, karena pindah ke Jaipur pun untuk apa? Hidup Ayah keluar masuk hutan, bukan hanya di India. Ibumu lebih baik tinggal di negaranya. Karena itu, Ibu, adik, dan kamu never met my parents. Nenek dan Kakekmu bukan tidak ingin menemuimu dan Anggi, Ayah yang tidak pernah mengenalkan kalian. Salah Ayah, tapi I have to do that, karena ini proteksi Ayah, hidup Ayah terus disetir orang tua, hanya menjadi fotografer dan menikah dengan Ibumu adalah dua pilihan yang Ayah buat sendiri, and I never regret it." Ayah berkata panjang ketika gue baru sampai di Jaipur, ini pertama kalinya gue ke luar negeri sendiri, karena gue udah delapan belas tahun, dan baru lulus SMA. Gue duduk berhadapan dengan Ayah yang dibatasi meja dengan dua cangkir coklat hangat di kafe bandara.

Narasi Rumah (7/7)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang