BABAK IV
Lembang 1997,
Siang ini sepulang dari sekolah aku menemukan Anggi sedang duduk di teras, masih menggunakan seragam putih merahnya, ia menangis tersedu. Ada apalagi ini? Lalu aku bergegas membuka pagar dan berlari ke arah adikku.
"Kenapa Anggi?" aku berjongkok di depan adikku.
"Tidak ada Ayah, Ibu juga." Ia menatapku, matanya memerah, hidungnya juga, ada ingus keluar dari lubang hidungnya, aku jijik, tapi ia adikku.
"Oh tadi memangnya Ayah tidak ngasih tau kamu?" tanyaku.
"Ngasih tau apa, Kak?" Anggi kebingungan.
"Ayah ke dokter mengantar Ibu. Mungkin antre, jadi pulangnya nanti sore." Kataku. Ia langsung mengangguk dan berhenti dari nangisnya. Tapi suara nafasnya masih tersenggal-senggal mungkin ia menangis sudah lama. Aku memasuki rumah bersama Anggi.
Tadi pagi sebelum berangkat sekolah Ibu keluar kamar—setelah lima hari berada di kamar tidak mau keluar-- wajah dan kulitnya pucat pasi, mungkin karena Ibu diam di kamar terus, jadi tidak bertemu sinar matahari. Aku tahu, karena kulit Ayah hitam pun karena Ayah kerja masuk keluar hutan, gurun pasir yang panas. Tidak ada senyum di wajah Ibu awalnya, tetapi ketika aku dan adikku berlari memluk Ibu, Ibu tersenyum, tulus aku bisa melihatnya, tapi Ibu agak kesusahan mengangkat bibirnya. Seperti kesakitan.
"Today Ayah and Ibu will go to doc." Ayah mengucapkan itu ketika adikku sedang asyik makan ditemani Ibu, sedangkan aku sedang menonton teve berisi berita membosankan bersama Ayah.
"Iya. Semoga Ibu cepat sembuh, Yah." Kataku berharap.
"Iya, tapi akan lama. Mungkin sampai sore."
"Kenapa?"
Ayah tampak berpikir sebentar, "Antre." Kata Ayah singkat. "Oke." Jawabku.
Ayah menyiapkan makan siangku dan Anggi di meja, aku yakin Ayah yang membuatkannya, karena Ibu masih sakit juga menunya yang ah itu adalah telur dadar yang diberi banyak bawang merah. Aku heran kenapa orang India suka sekali bawang, pun dengan Ayahku, aku sih orang Indonesia karena aku lahir di sini, juga tidak suka bawang. Tapi lihatlah adikku, dia lahap sekali dengan makanannya, seolah itu adalah telur dadar terenak yang pernah dimakan seumur hidupnya. Anggi suka sekali bawang, kata Ibu ia memiliki sifat sama dengan Ayah, suka semua jenis bawang. Jika ia sudah besar nampaknya Anggi akan membuat sup berisi potongan-potongan berbagai jenis bawang, aku kasihan kepada anak-anaknya nanti.
"Makan saja jatahku, aku gak suka bawang. Ini sih bawang goreng diberi telur." Ucapku pada adikku. Mata Anggi membulat bahagia, walau agak sembap, ia ceria kembali, seperti hidupnya tidak ada beban PR matematika saja, padahal ia suka menangis karena gurunya hampir setiap hari memberi PR matematika.
"Asiiik. Terus kakak makan apa?"
"Ada abon." Kataku.
"Oke." Kemudian telur jatahku ia ambil.
Selesai makan, Anggi tertidur, di sofa yang dipenuhi boneka-boneka. Aku memanfaatkan ini untuk pergi ke luar, bermain bola di depan rumah, biasanya ada teman-temanku. Aku bermain menendang-nendang bola sendirian di luar pagar, mau bermain jauh takut adikku bangun lalu Ibu dan Ayah belum pulang, nanti Anggi nangis lagi.
Tidak ada teman-temanku yang mengajak main, mungkin mereka langsung pergi ke lapangan. aku jadi bosan. Saat aku hendak membuka pagar, suara kecil memanggil namaku,
"Adam!" Itu seperti suara Ayu. Akupun berbalik. Tepat di seberangku, Ayu berdiri dengan gaun putihnya, kulitnyapun putih. Ini kali pertamanya aku melihat Ayu langsung, maksudku kami tidak di balkon masing-masing.
"Hai Ayu!" Aku kikuk. Lalu menyeberang jalan mendekat ke arah Ayu.
"Kamu lagi main bola?"
"Sudah selesai. Tidak ada teman." Jawabku.
"Kenapa?"
"Mereka gak datang ke rumahku."
"Kenapa kamu gak nyusul?"
"Adikku sendiri di rumah lagi tidur, kalau aku pergi lalu dia bangun, dia akan menangis."
"Cengeng." Katanya enteng.
"Kamu memangnya tidak?" tanyaku, Ia berlagak sok dewasa sekali, aku kesal.
"Tidak. Aku bahkan tidak tinggal dengan Papa Mamaku."
"Hah? Ke mana orang tuamu memangnya?"
"Di bui." Aku tersentak, Ayu ini penuh kejutan, aku tidak mengerti kenapa ia senang sekali berkata meniru orang dewasa. Aku yakin ia tidak mengerti arti bui sesungguhnya
"Kamu tau bui? That's jail Ayu."
"Yup. That's why I said that. Masa aku gak tahu terus tiba-tiba bilang Papa dan Mamaku dipenjara ke kamu."
"Kenapa?" Aku tidak percaya Ayu begitu tenang mengucapkannya, aku tidak pernah memikirkan kedua orang tuaku pergi, maksudku dipenjara. Itu menyeramkan.
"Masalah orang dewasa. Aku tidak begitu mengerti. Makanya aku diasingkan ke sini." Kini aku tahu mengapa tiba-tiba rumah besar ini berpenghuni sekarang.
"Aku gak tahu apa masalahnya sampai kedua orang tuamu dipenjara. Tapi maaf karena sudah bertanya dan menyangka kamu aneh." Sungguh aku menyesal. Aku mengerti, Ayu pasti kesepian.
"It doesn't matter. Aku di sini sama pengasuhku kok." Kami lalu duduk di depan pagar rumah Ayu.
"Kamu tidak sekolah, Ayu?" aku bertanya.
"Aku diajari oleh bibi. Aku belajar kok. Aku sudah pandai membaca."
"Kenapa tidak sekolah?"
"Aku terasing, sekolah pun pasti akan dikucilkan, Mama dan Papaku narapidana, mereka pasti tidak mau berteman denganku."
"Tapi aku mau."
"Iya, makasih ya Adam." Ia tersenyum, manis sekali. Beda ketika melihat ia dan Anggi tersenyum, adikku memang benar-benar polos, sedangkan Ayu, ia tersenyum, sejenis senyuman yang bukan hanya ada beban PR matematika saja di hidupnya, ada beban orang tua yang jauh dan mereka berada di sel tahanan, aku tidak bisa membayangkan.
Aku pulang setelah aku mendengar cerita Ayu, ternyata ia juga seperti anak-anak kebanyakan, ia ingin main, ingin sekolah, ingin punya teman. Ayu sinis tapi ternyata ia melindungi dirinya sendiri, ia kuat. Aku yakin besoknya ketika ia sudah dewasa, ia tidak hanya cantik, tapi juga kuat.
Sorenya Ayah dan Ibu pulang, wajah mereka kusut, aku tak mengerti kenapa, wajah Ibu masih pucat, mereka seperti orang lain ketika berjalan. Apakah karena Ayahku lupa tidak memasak makanan kesukaanku sehingga Ibu marah? Aduh, padahal tak apa aku masih ada abon.
Anggi sudah bangun, kami jadi duduk berkumpul di sofa. Ada Ibu yang dipeluk Anggi, dan aku yang duduk di samping Ayah.
"Ayah harus pergi."
"Kok cepat?" aku penasaran, makanya langsung menjawab. Biasanaya Ayah sebulan di rumah, ini hanya dua minggu.
"Ayah harus pergi. Kali ini lama."
"Kan biasanya lama juga Ayah? setahun." Ini Anggi yang menanggapi.
"Kali ini lebih dari itu." Ayah menunduk, lalu tangannya menggapai map coklat yang berada di meja, tertulis di map itu Pengadilan Agama, aku belum pernah melihat itu sebelumnya. Ada apa dengan agama Ayah dan Ibuku sampai harus diadili? Aku membatin.
Bersambung.....
teman-teman, makasih ya yang sudah membaca :*
Oh iya, teman-teman di Lombok dan sekitarnya juga stay safe yaa, semoga saudara-saudara kita di sana mendapat lindungan dari Allah, aamiin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Rumah (7/7)
Fiksi UmumSebuah rumah layaknya diisi oleh keluarga. Entah terdiri dari berapa orang, kuantitas penghuni rumah tak pernah dibatasi. Ini adalah sebuah cerita bersambung yang dinarasikan oleh salah satu anggota keluarga-- Adam-- seorang anak lelaki akan memba...