Babak V

489 52 13
                                    

BABAK V

Lembang, 1997

Perceraian, selama ini aku banya mendengar kata itu dari temanku, sewaktu kelas 3 SD teman sebangkuku, Aero bercerita bahwa kedua orang tuanya akan bercerai, dari dialah aku tahu bahwa perceraian adalah berpisahnya suami dan istri, ayah dan ibunya Aero. Kemudian selang dua pekan, Aero berpindah sekolah, katanya pergi bersama Ibunya, entah ke mana. Pada waktu kelas 5 aku punya kawan mengaji, kami berbeda sekolah, tapi rutin bertemu pada waktu magrib di Masjid, ada Olan, Dala dan Rafiq. Ketika itu kami sedang bermain gundu menunggu waktu Magrib di halaman masjid, Dala yang biasanya ceria, dan paling usil di antara kami, kali itu hanya diam. Kemudian aku berhenti bermain, membiarkan Olan dan Rafiq bermain berdua, aku mendekati Dala.

“Kenapa kamu gak main gundu, La?”

“Lusa aku harus pergi ke Cirebon.”

“Kenapa? Ada acara?”

“Aku harus tinggal dengan Eyang.”

“Kamu mau pindah?” Dala mengangguk, lalu mengalirlah cerita bahwa Mama dan Papanya bercerai, kali ini aku sudah mengetahui artinya, tapi yang aku heran mengapa Dala tidak ikut dengan Ibunya seperti Aero? Aku tidak berani menanyakan hal tersebut, karena kondisi Dala yang sedang bersedih. Walau aku tahu tak bertemu dengan Ayah itu menyakitkan, hei aku bertemu dengan ayahku setahun sekali, tapi Ayah dan Ibuku tidak bercerai. Tentu saja yang dialami Dala waktu itu menyedihkan. Bukan hanya Dala, pun dengan Aero.

Kilasan balik kejadian itu aku ingat, betapa mata mereka terlihat lebih sayu dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Aku tidak pernah membayangkan. Dua orang yang hidup bersama, hingga memiliki anak, berpisah begitu saja, dengan cara menempuh pengadilan. Amplop besar bertuliskan Pengadilan Agama itu aku baru tahu bahwa isinya adalah surat perceraian. Aku diberi tahu Ayah, karena sudah tahu artinya, setelah Ayah berkata bahwa ia bercerai dengan Ibu, aku hanya terdiam, menunduk. Mencoba menarik napas dalam, tapi dadaku seperti terhimpit, lalu bulir air mata keluar dengan sendirinya.

“Apakah aku bandel, Ayah, Ibu? Hingga kalian tidak sanggup lagi mengurusku?” akhirnya aku hanya mampu bertanya, tersenggal oleh isak tangisku. Sementara adikku, tersu meacau bertanya, apa itu bercerai, dan mengapa aku menangis.

“NO! its not about you or Anggi. Its about us. Ibumu dan Ayah.” Ayah meraihku, mendekapku erat, tak kuasa aku terus menerus mengeluarkan air mataku.

“Aku tahu, Ayah! temankupun orang tuanya bercerai. Dan mereka tidak pernah tinggal bersama-sama lagi.”

“Ayah akan mengunjungi kalian.”

“Kenapa, Ayah? ayah mau pergi?” Kali ini Anggi bersuara. Suara kecilnya parau, mungkin melihatku menangis, ia jadi ikut-ikutan. Sementara Ibuku, matanya memerah, Ibu menangis, memeluk Anggi kuat.

“Ayah mencintai kalian. Tapi kali ini Ayah harus pergi untuk waktu yang lama, nanti Ayah ke sini lagi, bertemu Adam dan Anggi, kita akan sering berkirim surat dan foto. Janji?” Pun dengan Ayah, ia berbicara agak tersengal, seperti menahan tangisan.

“Apakah Ayah berhenti mencintai Ibu?”

Ayahku diam sebentar, binar matanya menyoroti objek di hadapannya, Ibuku. Ia menghela napas, lalu berkata, “Ayah mencintai Ibumu, sama seperti Atisa ketika pertama kali bertemu, and I love you, and Anggi.”

“Tapi jika Ayah cinta, mengapa kalian bercerai?”

“Nak, cinta, bukan hanya tentang kekuatan membangun, tapi juga kekuatan mengikhlaskan kepergian. Apapun itu, cinta Ayah kepada Ibu, ataupun cinta Ibu kepada Ayah, hanya akan berubah bentuk, kami tetap saling mencintai.” Itu adalah kalimat Ibuku, dengar teman-teman, ia adalah guru bahasa Indonesia, kemampuan menjelaskan dengan kata-kata lugasnya itu keren, tapi aku masih tidak bisa mencerna kata-katanya dengan baik, aku masih tidak terima Ayah dan Ibuku berpisah.

Narasi Rumah (7/7)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang