Babak II

517 70 3
                                        

Saya sangat mengharapkan komentar teman-teman, terima kasih.

Lembang, 1997

Sore kali ini dapur ibuku hangat, seperti biasa di sana ada Ibu yang sedang memasak ditemani Anggi. Aku baru pulang bermain bola dari lapangan. Aku duduk di teras, sambil membuka sepatu. tiba-tiba terdengar suara motor di balik gerbang. Sontak aku bangkitlalu berlari kearah gerbang. Di sana ada Pak Pos berusia sekitar 40 tahun sedang memasukkan surat ke dalam kotak surat. "Surat dari Ayah!" Aku berteriak. Pak Pos hanya tersenyum, lalu berkata, "Saya sudah memasukkannya ke kotak Pos, Nak. Bilang Ibumu, surat dari perangko Afrika Selatan." Aku langsung mengangguk siap. Berbalik badan dan berlari setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Pos.

"Ibu ada surat dari Ayah!" Kataku berteriak.

"Wahhhh ayo Ibu, buka kotak surat!" Anggipun sama kegirangan.

Ibu hanya tersenyum simpul, dari balik senyumnya aku tahu ia bahagia. Ibu mencintai Ayahku, dekat ataupun jauh, cinta Ibu berlimpah selalu untuk Ayah. "Siap Ibu ambil." Setelah membawa kunci kotak surat dari gantungan, dan mematikan kompor, Ibu berlalu ke luar,aku dan Anggi berdebar bahagia, selalu begitu. Surat dari Ayah adalah Ayah. Di sana kadang tertempel aroma parfum Ayah. Aku, Ibu, dan Anggi menyukai itu.

"Siap Ibu bacakan anak-anak?" Ibu duduk di kursi makan, dihadapannya ada aku dan Anggi yang menunggu antusias.

Cape Town, South Africa, 25 Agustus 1997

Dear Ati Istriku, Adam My Prince, and Anggi always be My Forever Lil' Girl

Halo sayang-sayangnya Ayah, apa kabar kalian? Ayah sudah di kota, jadi dapat berkirim surat untuk kalian. Ayah sehat, jika kalian penasaran. Anak Ayah sudah sebesar apa sekarang? Pasti Ibu merawat kalian dengan baik ya?

Di lampiran surat ini, Ayah mengirimkan foto-foto yang khusus untuk kalian, ada Baby Leopard yang lucu, Ayah took it for Anggi, kamu bakalan suka. Untuk Adam ada Black Panther garang sedang mengaum, Ayah sulit sekali sewaktu memotretnya. Karena harus menunggu lama di atas pohon, Ayah did it cause Adam love it. Untukmu Ati, saya kirim foto saya di padang sabana, karena sepertinya kamu yang paling merindukan saya, okay I am too much of percaya diri. Karena saya pun merindukanmu, Ti.

Ayah tidak akan menulis banyak, nanti Ayah telpon setelah kira-kira surat ini sampai. Ayah pulang sebulan lagi dari tanggal menulis surat ini. Ke Lembang, ke rumah kita. Maka see you yaa cintaku. Ayah miss you. Semoga kalian baik-baik saja.

Reegards,

Ayah

Setelah membaca surat itu, pipi Ibu bersemu, lesung pipitnya cantik. Aku dan Anggi menunggu untuk diberi foto oleh Ibu. Setelah aku mendapatkannya, itu benar-benar luar biasa! Macan kumbang itu gagah mengaum di tengah tanah yang tandus, ayah benar-benar hebat. Aku ingin menjadi seperti Ayah. adikku, Anggi mendapatkan foto sekumpulan Baby Leopard yang sedang bergumul dengan induknya di tengah-tengah hamparan ilalang. Benar-benar menggemaskan.

Dari hadapanku, Ibu menangis. Aku tahu ia tidak bersedih, Ibu terharu. Air matanya mengalir, namun bibirnya terangkat tersenyum. "Ibu aku ingin lihat foto Ayah." kataku, lalu Ibu memberikannya untukku yang langsung menyedot perhaian Anggi atas Baby Leopardnya. Di sana ada Ayahku, ganteng dengan hidung mancungnya, rambut Ayah ikal, seperti biasa. Senyumnya bahagia sambil terkalung kamera di lehernya, ia berada di tengah-tengah jalan gurun yang lurus dan terlihat kosong dari kendaraan. Aku merindukan Ayahku, dipeluknya foto itu erat. Anggipun ikut memelukku.

Aku menyukai balkonku. Anggi tidur di kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Ibu dan tidak ada balkon. Balkonku saat malam hari adalah yang terbaik. Aku dapat melihat hamparan bintang, sambil ditemani jaket tebal dan susu hangat dan tentu saja foto macan kumbang dari Ayah. Balkonku menghadap jalan. Di seberang ada rumah besar. Lebih besar dari rumahku, balkonnya pun besar. Selama aku tinggal di sini, rumah itu selalu sepi, mungkin kosong. Tapi malam itu--setelah siangnya aku bahagia mendapat surat dari Ayah--ruangan yang berhadapan dengan balkonku terlihat temaram. Pintu yang terbuat dari kaca itu, belum ditutup oleh gorden putih tipis semacam jarring-jaring kecil, padahal biasanya selalur rapat oleh gorden yang tebal sepanjang waktu.

Aku meminum susuku, mataku terus terarah ke sana, setelah sekian lama menatapnya, aku melihat anak kecil seusia dengan Anggi, kupastikan itu anak perempuan. Karena rabutnya panjang, hampir sepanjang milik Anggi. Ia memakai piama biru gelap, setelah sadar aku perhatikan, ia menatap lurus ke arahku, diam mematung. Lalu berjalan pelan sambil matanya mengarah kepadaku, aku takut. Kupikir itu adalah hantu anak kecil yang sering dibicarakan Didi, temanku. Maka aku segera beranjak meninggalkan balkon, berdiri di balik pintu balkonku yang terbuat dari kaca juga. Sambil terus melihat kearah anak permpuan tadi, berjalan perlahan ternyata dia menutup gorden tebalnya, pada saat gorden nyaris tertutup rapat, ia mengacungkan kepalan tangan kanannya ke udara, SIAL aku seorang laki-laki dua belas tahun, ditantang setan manis perempuan seusia adikku! 

Narasi Rumah (7/7)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang