Sebuah rumah layaknya diisi oleh keluarga. Entah terdiri dari berapa orang, kuantitas penghuni rumah tak pernah dibatasi.
Ini adalah sebuah cerita bersambung yang dinarasikan oleh salah satu anggota keluarga-- Adam-- seorang anak lelaki akan memba...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Moodboard Ayah Aryaan sebagai penyemangat :)
Lembang, 1997
Sudah sekitar satu pekan setelah kedatangan Ayah di rumah. Rumah kami menjadi lebih ramai, jika biasanya hanya berisi sahut menyahut antara aku dan adikku, dan beberapa selaan dari Ibu, kini ada suara bass Ayahku yang menggema. Suhu Cihideung seperti naik beberapa derajat bagiku sepulangnya Ayah. maksudku, aku lebih sering dipeluk oleh Ayah, tidak hanya Ibu.
Ayah senang berkebun, lahan yang biasanya ditumbuhi sayur mayur milik Ibu, Ayah babad sedikit untuk menanam beberapa bunga. Aku tidak tahu nama bunga itu apa, karena belum berbunga, kata Ayah ini untuk bekal nanti kalau Ayah pergi. Huf aku benci sekali dengan rencana perginya Ayah, walau untuk bekerja, tapi kenapa pekerjaan Ayah tidak dilakukan di Bandung saja? Seperti kebanyakan ayah teman-temanku. Tapi kata Ibu, aku harus sabar, karena semua orang tidak diberi Ayah yang sama, jadi pekerjaannya pun berbeda, dasar Ibu, aku dengan Anggi punya Ayah dan Ibu sama.
Pada pekan kedua Ayah di rumah, Ibu sakit. Entah sakit apa, tapi Ibu tidak mau keluar kamar sudah tiga hari, setiap pagi Ayah membuat sarapan untuk aku dan adikku. Anggi terkadang menangis ingin bertemu Ibu, tapi Ayah menggendongnya lalu pergi bermain menemani Anggi. Aku? Aku hanya duduk di depan pintu kamar Ibu, bertanya kenapa Ibu tidak ke dokter? Tapi jawaban yang aku terima hanya sunyi.
Pada malam hari sebelum menggosok gigi, Ayah memberiku susu coklat hangat, Anggi sudah tidur karena kelelahan.
"Mengapa Ibu tidak keluar kamar, Ayah?" Aku bertanya setelah Ayah memberiku secangkir susu.
"She is sick, I told you, boy."
"Tapi sesakit-sakitnya Ibu, Ibu suka keluar, bikin makanan untuk aku dan adik."
"Sekarang kan ada Ayah. tomorrow I will tell Ibu that you miss her."
"Anggi miss her too."
"yeah. Now go back to your room, tidak ada duduk santai di balkon ya?"
"what? Dari mana Ayah tahu?"
"I am your father. No, don't talk with that girl tonight. Besok saja pagi-pagi."
"Ayaaah, she is my friend."
"I know. Just sleep tight. K?"
"hmm. Bye Jangan lupa salam aku untuk Ibu." Lalu aku pergi ke kamarku di atas, aku melihat sekilas Ayah belum juga beranjak dari kursi makan.
Berbicara tentang seseorang yang menemaniku di balkon, dia adalah tetanggaku. Anak kecil seusia Anggi yang tempo hari menunjukkan kepalan tangannya padaku. Ugh merendahkan harga diriku sebagai orang yang lebih tua darinya. Pada malam berikutnya setelah aku mengira dia hantu, kami bertemu lagi di balkon. Ia juga keluar dan duduk di balkonnya. Dia cantik, aku anak dua belas tahun mulai puber dan sudah tahu cantik. Kulitnya pucat, rambutnya sebahu dan keriting berwarna sedikit kecoklatan, aku tahu ia seorang blasteran, Eropa mungkin? Pada menit-menit awal tidak ada suara antara kita, balkon kami hanya sebatas jalan, artinya kami lumayan dekat. Tapi ia tak mau mengeluarkan suaranya.
"Whats your name?" akhirnya aku membuka suara.
"Ayu."
"Wow muka kebaratan tapi namamu Ayu."
"Asmaraning Ayu Leiter van Dijk Sastromiharjo. Kamu?"
"Ayahmu orang Belanda? Aku Adam. Adam Bhagawandas."
"Nope. Mama is."
"Oh. Kamu kayak hantu kemarin. Kenapa tiba-tiba ngasih aku kepalan tangan?"
"Kata Mama kalau ada orang tidak dikenal, dan liatin aku terus-menerus aku harus galak."
"tapi akukan bukan orang jahat."
"I said a stranger. Bukan orang jahat."
"OK. Tapi masa iya aku anak SMP mau jahatin kamu?"
"who knows?"
"Ish. Kamu baru pindahan ya?"
"Ini villa milik kakekku, kata Papa aku harus tinggal di sini sementara waktu."
"untuk liburan?"
"no. tinggal, Adam."
"Kamu tidak mau memanggil aku Kak?"
"buat apa? Kamu bukan kakakku."
"tapi aku lebih tua dari kamu."
"I said no."
"OK."
Begitulah percakapan kami berdua awal berkenalan. Ayu gadis lucu, tapi sedikit sinis. Atau banyak? Tapi aku menyukai berbicara dengannya. Hari-hari berikutnya saat Ayah memintaku tidur pukul Sembilan malam, aku tidak langsung tidur, pergi ke balkon, dan di sana sudah ada Ayu. Ia sepertinya mengalami gangguan tidur, karena anak seusianya harusnya tidur dari pukul delapan malam seperti adikku. Tapi itulah Ayu-Asmaraning Ayu Leiter van Dijk Sastromoharjo.