Aku benar benar meleleh akan rasa malu ketika ibu Weina memergokiku sudah mengompol di atas kasur. Membenamkan wajahku dalam dalam diatas dua tumpuk bantal tipis yang mereka berikan, wanita itu menebarkan pesona kecantikannya itu ketika tertawa lepas seperti sedang dikelitiki.
"Apa yang kau lakukan.. Kau, seperti anak kecil saja. Fuhahahaha! Maaf Lost, ibu.. ibu.. Wahahahah!"
"Eheh.. Maaf. Aku akan mencucinya saat aku sembuh nanti."
"Tidak.. Tidak perlu. Wajar bagimu untuk mengompol sekarang, malahan kau tidak mungkin untuk terus terusan menahannya. Karena jarang sekali aku melihat anak seusiamu mengompol lagi. Kau lucu sekali Lost.."
Yah.. Maaf atas kesengajaan ini, tapi aku tidak sedang melawak. Mungkin sekarang mereka melihatku layaknya kucing kecil yang bersembunyi dibalik bulu lebat ibunya.
Pada akhirnya, Toru dan Gerko serta arahan kakek Prohu yang saling bahu membahu mengangkatku dengan hati hati dan membiarkan ibu Weina mengganti kasurku dengan yang baru. Kali ini ibu Weina mencoba memberikan saran untuk menyelipkan beberapa kain di daerah kelaminku, tapi kakek Prohu menentangnya karena akan mempengaruhi bentuk tulang punggungku nanti.
Aku rasa cara mereka sedikit kurang tepat, karena pemulihan tubuhku yang cepat bisa membuat punggungku kembali normal dalam beberapa hari saja. Sekarang saja kulit luarku sudah terbentuk, walaupun masih tipis dan berwarna merah muda. Tapi aku tidak bisa mengatakannya, karena aku masih belum mengetahuinya dengan pasti apa yang sudah terjadi pada tubuhku.
Aku merasa berat hati karena semakin merepotkan mereka saja, sehingga aku menyuruh Toru untuk belajar cara mencuci kasur--dan juga pakaianku--agar bisa meringankan pekerjaan ibu Weina. Dan dia hanya bisa memasrahkan diri setelah sedikit paksaan dari kami.
Haah~ sungguh ibu yang baik hati.
Apa aku tinggal disini saja ya?
Tidak, kurasa aku harus mencari lagi ke tempat lainnya. Kali ini, tujuan utamaku setelah sembuh adalah bertemu dengan tabib sihir, aku pasti akan mengingatnya. Aku harap tidak ada hambatan lagi selama perjalanan nanti.
***
Tiga hari terlewati, ternyata punggungku masih belum sembuh sepenuhnya. Aku sudah bisa duduk tegap seperti biasa, tapi aku dilarang untuk berlari atau membawa barang berat. Apa mungkin aku sudah bisa berjalan jalan sedikit ya? Kakek Prohu tidak pernah menyinggung pantangan itu, tapi sepertinya boleh boleh saja.
Aku menyentuh kulit di tangan kiriku yang sudah tertutup sempurna. Putih licin seperti kulit bayi, tapi saat aku menepuknya kakek Prohu membentakku keras. Apa aku terlihat aneh? Tidak ada frustasi, rasa kesal ataupun sedih yang terpampang di wajahku.
Aku menerimanya, tanpa dendam.
Lagipula sudah tidak mungkin lagi aku dendam, Toru sudah tunduk padaku.
Ya, Toru bisa menggantikan tangan kiriku. Nah, sekarang aku yang takut, apa arwah Toru bisa tenang melihat aku memperlakukan mayatnya sebagai budakku? Pfft.. itu berarti dendamku padanya sedang berlangsung.
Aku yakin dia pasti sedang menggigit bibirnya sendiri. Tolong jangan terlalu melihatku dengan wajah jengkel itu, kakek Toru..
"Toru, bisa carikan aku perban atau apapun itu untuk menutup tanganku ini?"
"Aku akan mencarikan perban di antara bangkai tubuh sisa pertempuran saat itu. Aku pikir, akan ada setidaknya satu dua orang yang membawa peralatan medis kesana."
"Kau-- mau kesana lagi? Berarti besok kau akan kembali lagi?"
"Ya. Untuk mengambil perban itu, aku harus bolak balik secara manual. Tapi jika keadaan darurat terjadi, panggil namaku, maka aku akan segera datang kesisi tuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost : Coming Home
ActionAku kehilangan ingatanku, tapi apa dayaku? Apakah aku harus panik? Kurasa tidak... Seekor kupu kupu yang menemaniku, menuntun arah menuju sebuah apel manis yang matang pada pohon yang rindang. Dan seperti itu, hanya seperti itu.. Saat seseorang data...