Perlahan

8.5K 448 6
                                    

Author VOP

Sebuah rumah yang tidak besar juga tidak kecil dengan dua lantai dan halaman belakang yang cantik. Terdapat taman-taman kecil disana. Sungguh cantik dan menyejukkan mata.

Didominasi warna putih dan abu-abu, rumah ini tampak klasik. Setiap sudut rumah menampilkan kesan yang berbeda-beda. Ruang tamu misalnya, meski didominasi warna putih dan diberi aksen hitam, memberi kesan semi formal.

Sedangkan ruang tv terasa jauh lebih nyaman dengan warna putih dan abu-abu muda yang mendominasi. Rumah ini benar-benar mencerminkan pemiliknya. Ketika memasukinya, bisa dipastikan pemiliknya adalah seorang pria single. Karena seorang wanita sangat jarang memiliki selera seklasik ini. Tapi dia mampu memberi kesan yang berbeda hanya dengan tiga warna yang mendominasi bangunan ini. Sungguh unik. Sama persis dengan  si pemilik!

"Selamat datang"

Sekilas kalimat itu seperti ucapan sambutan untuk Hilya yang telah resmi menjadi penghuni baru istana Rizal. Hanya saja, ekspresi yang ditunjukkannya sulit untuk diartikan. Kalimat yang hanya terdiri dari dua suku kata, dan tak ada lagi embel-embelnya.

"Biar saya yang angkat. Masuk saja"

Hilya hanya mengangguk sambil sedikit tersenyum, menuruti perkataan suaminya dan berlalu melanjutkan tur di rumah baru.

Dirumah ini terdapat sebuah musallah kecil yang cantik. Meski kecil karena dibuat diantara dua ruangan, namun tetap terlihat lapang dengan cat berwarna putih.

"Suka dengan rumahnya?"

Sekali lagi Hilya mengangguk, hanya mengaguk. Entah mengapa jika bersama dengan suaminya, pita suara Hilya tidak berfungsi dengan baik. Sepertinya oksigen yang dihirupnya hanya mampu untuk memompa jantungnya agar berdetak lebih kencang, lebih dari biasanya. Tidak membiarkan hipotalamus diotak memberi perintah pada pita suara juga bibir untuk bekerja sesuai fungsinya.

Hari hampir malam, sebentar lagi azan magrib akan dikumandangkan,kini Rizal telah siap dengan baju kokohnya juga sarung dan peci.

"Tidak mandi dek?"

Hilya yang sedang sibuk dengan barang-barangnya sejenak terpesona oleh pemandangan indah yang kini telah halal selama apapun ingin Hilya pandang. Namun kedua pipi Hilya kembali merona tanpa bisa dikendalikannya, karena itu Hilya langsung mengambil langkah cepat menuju kamar mandi dan bodohnya, Hilya kembali lupa mengambil pakean ganti juga handuk.

Dasar ceroboh! Gerutu Hilya pada dirinya sendiri.

"Dek, saya tunggu dibawah ya"

"Iya mas"

Setelah memastikan suaminya tidak lagi berada dikamar yang artinya aman untuk keluar, Hilya segera mempersiapkan diri tanpa membuang-buang waktu dan tak ingin membuat Rizal menunggu lama.

Kali ini keduanya shalat maghrib berjama'ah di musallah kecil nan cantik di salah satu sudut rumah. Rizal sebagai imam dan Hilya sebagai satu-satunya ma'mumnya. Ini bukan kali pertama mereka shalat berjama'ah hanya berdua, namun selalu saja ada  rasa yang berbeda dihati keduanya. Hilya merasa nyaman dan damai ketika mendengar setiap bacaan qur'an yang keluar dari bibir suaminya itu, yang sangat merdu dan selalu sukses meneduhkan hati Hilya.

Selepas meng-aamiinkan doa-doa suaminya, Hilya mencium telapak tangan suaminya sebagai bukti baktinya pada sang suami. Lalu dilanjutkan adegan Rizal yang mencium lama kening Hilya Seakan sangat-sangat menikmatinya.

"Kak aku kedapur dulu. Nyiapin makan malam"

Pamit Hilya yang hanya dijawab anggukan oleh Rizal. Sebenarnya Hilya hanya sebatas menyiapkan makan malam saja bukan memasak dalam arti sebenarnya, hanya memanaskan bekal yang telah disiapkan bunda untuk mereka berdua. Hilya tak pandai memasak, bumbu-bumbu dapurpun Hilya tak tau, bagaimana ingin memasak. Yang ada Hilya hanya akan menciptakan racun untuk suaminya sendiri.

HilyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang