Eleven

2.1K 83 1
                                    


Camelia POV

Tidak akan ada yang tahu apa yang saat ini aku pikirkan. Terutama autor! *Ucet dah kok gua dibawa bawa 😲

Aska POV

Melihat wajah camelia yang baik baik saja tentu membuatku cemas. Sangat membuatku takut kalau apa yang dia pikirkan tidak searah dengan ayah.

Apakah 3 tahun itu sebentar?

Tidak bodoh! Itu sangat lah lama bagi seseorang yang menjalaninya. Aku bahkan tak sanggup harus kehilangan camel. Aku tidak ingin! Kalau anak jaman sekarang ingin menentukan suatu keegoisannya pasti mereka berkata, 'pokoknya aku tidak ingin. Titik!'

Ah tapi aku tidak selemah itu. Aku berharap camelia tahu apa yang terjadi saat ini.

Ya Tuhan. Ku mohon berikanlah kepercayaan ayah untuknya agar dia mengerti karena bagaimana pun ini juga untuk kebaikannya.

"Ya sudah, pergilah, Barry! Tapi jangan harap setelah kamu pergi dari rumah ini, ayah akan menerima kamu kembali. Tidak, Barry. Maafkan ayah karena ayah seperti ini karena ulahmu juga."

"Ayo sayang kita pergi dari sini," ucap barry terpotong.

"Audeska!," ujar camel yang membuat kami terkejut.

"Kamu ngomong apa, si, sayang," Barry mengernyit tanda tanya.

"Bahkan kamu lupa nama wanita yang kamu tiduri itu,"

Gotcha! Bagaimana camel tahu nama itu.

"Kamu ingat hari ini aku pinjam gitar kamu?," camel membuat barry berpikir, "ah! Love you audeska, i'm sorry." jelas camel membuat barry tak bisa berkutik lagi.
"Kamu menulisnya di balik gitar kamu, Barry. Kamu jahat!" terdengar suara isakan kecil milik camel.

"Sayang, aku,"

"Sayang?! Aku tanya, sayang?! Kenapa sayang tapi kamu ngelakuin hal bodoh kayak gitu," ungkap camel yang disenyumi oleh ayah sedang aku ingin sekali memeluknya karena tak tega melihatnya seperti ini.

"Aku sayang kamu, Barry. Aku juga cinta sama kamu, Barry. Tapi aku masih ragu. Selama tiga tahun ini aku ragu mencintai kamu, Barry. Aku tau kamu bohong kalo aku tau segalanya tentang kamu. Bahkan kamu pergi ke australi aja. Enggak sekalipun kamu ngabarin aku, kamu hilang gitu aja seperti awan hitam yang ditiup angin. Setiap malam aku memimpikan kamu, setiap pagi rindu senyum kamu, setiap siang aku rindu tawa kamu, setiap sore rindu kejailan kamu, hiks!" tangisnya pecah dalam diam dan masih mengatur agar tangisannya tidak terdengar oleh orang tuanya yang masih ngobrol dengan ibuku.

"Sayang,"

"Jujur sama aku, Barry, aku cape kalo kamu sembunyiin ini terus sama aku,"

"Iya. Kamu benar tentang aku. Puas! Lalu apa?! Aku tidak perduli ayo pergi sama aku!" tegas barry seperti orang kesetanan menarik paksa camel.

Aku langsung menepis tangannya kencang membuat barry mengaduh.

"Aska sialan!" ucap barry lalu meninjuku.

Dengan sigap ayah memisahkan kami dan ingin menampar barry tapi tertahan olehku.

Lalu terkejut ternyata camel melanjutkan menampar barry.

"Tidak sakit sayang. Ini rasanya manis," jelas barry lalu mendekati camel, "semanis bibir kamu," ungkapnya yang ingin mencium camel tetapi aku lebih dulu menarik camel.

"Kurang ajar!"

Barry menghajarku seperti seorang kesetanan.

Ayah yang melihatnya percaya padaku bahwa, 'Kuserahkan padamu,'.

Mine (Love The Way)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang