BAGIAN 1

7K 130 6
                                    


Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah danau yang indah pada senja hari. Danau Cubung permukaan airnya tenang. Bias cahaya matahari sore dari ufuk Barat, memantulkan warna keperakan. Hanya ada satu jalan menuju danau itu. Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau, terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama Lembah Bangkai.
Pemandangannya memang indah, namun jika malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani
melintasi kawasan itu. Selain bau bangkai yang selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu seakan-akan menyimpan misteri yang sulit diungkapkan.
Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari sore membelah jalan di antara danau dan jurang. Di belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.
Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra. Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang tengah memangku bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun.
"Sudah hampir malam, Kang Mas," Tunjung Melur bergumam. Matanya menatap lurus ke arah danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra tunggalnya.
"Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati," sahut Adipati Karang Setra. Matanya menatap iba pada istrinya itu.
"Adakah jalan lain selain jalan ini?" tanya Tunjung Melur.
"Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling tidak, bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."
Tunjung Melur mendesah pelan. Matanya menatap Rangga Pati, anaknya. Hatinya merasa gelisah. Keangkeran kaki bukit Cubung dengan lembah Bangkainya, menghantui pikirannya. Telah banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini, namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.
Senja terus merayap rnenjelang malam. Matahari mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki bukit. Sinar keemasan itu mulai redup, memberi kesempatan pada embun dan kabut untuk menampakkan diri. Rombongan Kadipaten Karang Setra terus memacu menuju arah terbenamnya matahari.
"Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui Ayahanda Prabu," Tunjung Melur sedikit bergumam.
"Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu dengan cucu pertamanya."
Kembali Tunjung Melur mendesah. Dia tahu bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya, tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya. Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi orang tua Adipati Karang Setra ini.
Seorang penunggang kuda hitam yang semula berada di depan, menghampiri kereta. Di
seragamnya terdapat sulaman bunga karang berjumlah lima. Tingkat dan kedudukan prajurit Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari sulaman macam itu yang ada di bagian dada. Makin banyak jumlah sulaman, makin tinggi tingkat dan kedudukannya. Penunggang kuda itu membungkukkan badan dan menoleh ke dalam kereta. Adipati Karang Setra menjulurkan kepalanya.
"Ada apa, Gagak Lodra?" tanya Adipati Karang Setra.
"Jalan kita terhalang, Gusti Adipati," sahut Gagak Lodra.
"Maksudmu?" Adipati belum menangkap makna nya. Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba saja kereta terhenti. Adipati Karang Setra melongokkan kepalanya menatap ke depan. Dia mendapatkan sebuah pohon besar tumbang menghalangi jalan mereka.
Adipati Karang Setra ke luar dari kereta. Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon tumbang itu. Gagak Lodra melompat dari kudanya, diikuti prajurit-prajurit lain. Dihampirinya Adipati Karang Setra yang ternyata sudah didampingi Gajah Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga karang.
Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur tiga langkah. Kepalanya agak dimiringkan sedikit
Wajahnya tegang. Pohon besar yang merintangi jalan, jelas suatu kesengajaan. Meski tumbang
berikut akar-akarnya, tetapi terasa ada keganjilan.
Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon lain di sekitarnya pasti ikut rusak. Tapi mengapa hanya pohon besar itu saja yang rusak?
"Hmmm..., ada tamu tak diundang," gumam Adipati.
'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak, Gusti," sahut Gagak Lodra yang juga menangkap suara-suara kecil yang mencurigakan di sekitarnya.
"Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti," sambung Gajah Rimang.
"Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan. Napas dan gerakannya terlatih sempurna," kata
Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya. Suasana jadi hening.
"Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!" sambung Adipati Karang Setra seketika.
"Siap, Gusti!" seru Gajah Rimang seraya melompat menghampiri para prajurit yang juga sudah bersiaga.
'Dan kau...," Adipati Karang Setra belum lagi meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan semak dan pohon-pohon bermunculan
segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan senjata terhunus. Gajah Rimang yang baru saja
memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.
Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.
Adipati Karang Setra menatap satu persatu para pengepungnya. Hatinya terkesiap ketika matanya
tertumbuk pada Seorang laki-laki tinggi tegap berkulit kuning. Wajahnya kasar penuh brewok
sambil memegang tongkat berkepala tengkorak manusia. Adipati tahu siapa laki-laki Itu.
"Iblis Lembah Tengkorak...," desis Adipati Karang Setra bergetar.
Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula mendengar desisan Adipati Karang Setra. Mereka
tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari tandingannya. 'Ilmu Tongkat Samber Nyawa' yang
dimilikinya, sangat dahsyat. Belum lagi ilmu andalannya, yakni 'Bayangan Setan Neraka' benar-
benar tak tertandingi. Banyak tokoh aliran putih yang tewas di tangan iblis ini. Dan kini, dia muncul dengan tiba-tiba!
"He he he...," Iblis itu terkekeh. Tawanya disertai tenaga dalam yang sempurna hingga menggema ke seluruh penjuru. Seketika itu juga
seluruh prajurit Karang Setra bergetar hatinya.
"Tak kusangka, Adipati Karang Setra mengantarkan upeti hari ini," sambung Iblis Lembah Tengkorak. Suaranya menggelegar meski diucapkan dengan tenang.
"Hhhh...!" Adipati Karang Setra mendesah panjang, coba menenangkan diri. Meskipun dia
seorang Adipati dan memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan dengan Iblis berwajah kasar itu. Sepuluh orang yang
memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum tentu mampu mengalahkannya.

1. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Lembah TengkorakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang