SUZY
"Suamiku, sini. Cepat, cepat, cepat! Bukankah itu sahabatmu di SMA dulu?!"
Gerakan bolpoin yang menggores kertas putih di buku catatanku berhenti ketika mendengar suara Ibu berseru heboh di lantai bawah. Aku memutar bola mataku malas, berniat hendak kembali memusatkan pada PR matematikaku ketika suara Ibu kembali terdengar. Kali ini, dia memanggilku.
"Suzy, kemari sayang! Kemari!"
Oh my god. Tidak bisakah aku hidup damai sehari saja? Aku mendesah frustasi. Kututup buku catatanku dengan bolpoin kutinggalkan ditengah-tengah buku itu. Masih memakai kacamata dengan rambut tergelung asal dikepala, aku membawa kakiku keluar kamar. Menuruni undakan tangga dengan malas menuju ruang keluarga. Tempat dimana sumber suara berasal.
Ugh.
"Sayang, sini, duduk disini." Ibu menepuk-nepuk jok sofa leter L yang kosong disebelahnya. Aku membawa pandanganku sesaat pada Ibu sebentar, lalu menatap Ayah yang sedang sibuk dengan pesawat telepon, seperti menghubungi seseorang yang penting.
"Kenapa, Bu? Aku sedang mengerjakan PR." Aku membawa tubuhku terhempas pada sofa sambil mengeluh. Pandanganku terarah pada televisi berlayar datar super besar—yang dipilih Ibu ketika melihat temannya membeli satu, dan ia tidak mau kalah jadi membelinya juga—yang jarang kugunakan sedang menayangkan berita tentang apartemen mewah yang roboh. Well, aku sebenarnya lebih suka di kamar, menonton siaran streaming, mendengarkan curhatan Soojung yang itu-itu saja, atau membaca buku daripada menghabiskan waktu tidak berguna di depan televisi.
"Kau ingat Paman David?" Ibu bertanya padaku dengan antusias.
Ck, siapa pula itu? Aku menggeleng.
"Aiyah, masa tidak ingat? Dulu ketika kita liburan ke Roma ketika kau berumur 5 tahun, kita mengunjunginya. Teman sekolah ayahmu dulu. Kau tidak ingat?" Pertanyaan Ibu kembali memberondong. Kali ini, nada bicaranya yang seperti sedang menyepelekan indera pengingatku dan seolah-olah meremehkan ku—bagaimana bisa kau mendapat ranking sejak Sekolah dasar dengan ingatan itu—seperti itu.
What the heck!
Bagaimana juga aku bisa mengingat secara rinci tentang liburan di umur 5 tahun, yang mana, sekarang umurku adalah delapan belas tahun. Aku perjelas lagi, berarti saat itu dan sekarang sudah terbentang jarak sekitar 13 tahun. Jadi, katakan dimana salahku?
"Ibu, itu sudah lama sekali. Bagaimana aku bisa mengingatnya? Aku 18 tahun sekarang, omong-omong."
"Aku tahu. Bulan lalu kita merayakan ulang tahunmu di hotel mewah." Kata Ibu.
Oh yeah. Yang sebenarnya terjadi adalah, itu ajang Ibu untuk memamerkan koleksi pakaian dan tas terbarunya kepada teman-temannya. Dan, menunjukkan kalau dirinya mampu menyewa hotel kelas atas itu hanya untuk sebuah pesta ulang tahunku—yang mana, kebanyakan dari tamu yang hadir adalah teman arisan Ibu—dan hanya Soojung dan Vincent yang datang sebagai tamu undanganku.
Aku mendengar Ibu menggerutu disana, tapi aku tidak peduli. Kakiku hendak berdiri untuk pamit kembali naik ke lantai atas ketika suara Ayah terdengar penuh kelegaan.
"David mengangkatnya!"
David lagi.
"Katakan padanya kita akan menyusul mereka ke tempat kejadian, sayang. Katakan!" Ucap Ibu menggebu-gebu.
Aku heran, sebenarnya paman David-david itu merupakan temannya siapa? Kenapa malah Ibu yang semangat? Heol.
"Selagi aku menelponnya. Kalian bergegas berganti baju saja, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Brown Dwarf
Fanfiction[SUDAH TERBIT] Katanya, "Semua anak perempuan di sekolah akan membunuhmu jika tahu kau dan Aku tinggal bersama." Itu benar. Aku bisa dengan yakin memberikan ceklis pada ungkapannya itu. Tapi, oh ayolah ada yang lebih mengerikan dari kalimat diatas...