[39] Sinopsis - Kanaraja

13 4 0
                                    

Nama : Ayu dewiUsername : Ayu_DewisrsJudul  : KanarajaGenre : General FictionWord : 730No

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nama : Ayu dewi
Username : Ayu_Dewisrs
Judul : Kanaraja
Genre : General Fiction
Word : 730
No. Peserta : 39
Isi :

Kala itu... kala di mana petir menggelegak membelah awan kelabu. Dengan langkah yang terseok, rintih yang tertatih, dan luka sobek di punggungnya, pemuda itu berlari tiada henti. Dahaganya merintih kelu, dengan sengat rasa pedih luar dalam, ia mencoba terus melangkah-meski menjauh dan berusaha tak acuh pada desing peluru yang melebur serta bersama petir.

Alangkah tak tahu diri jika harus kembali ke sana. Menyaksikan kilatan mata merah pada warga desa yang merasa telah dikhianatinya. Para bangsawan berlagak itu juga telah membodohinya. Congkak, rakus, dan pembodohan kalangan jelata sepertinya memang betul-betul siasat perang.

Pemuda sembilan belas tahun itu memang butuh uang. Tanah leluhurnya tengah dijejal besi-besi besar, dipekerjakan di hamparan kebun miliknya sendiri dengan upah rendah, dan ditipu daya oleh kalangan bangsawan itu untuk berkhianat di desanya, sedangkan hak miliknya sendiri benar-benar dirampas sepenuhnya oleh mereka.

Dia memang bodoh. Kanaraja Lesmana memang bukan nama yang pas untuk ukuran pemuda miskin nan bodoh. Nama itu lebih cocok diberikan untuk kalangan kerajaan. Jika dipikirkan, pemuda itu memang betul-betul tak pantas menyandang nama bagus untuk orang yang sama sekali tidak rupawan maupun kaya raya.

Dilahirkan dan besar di tanah yang semakin paceklik keadaannya tak membuat hidupnya jauh lebih baik. Genap usia enam tahun, ia kehilangan ayahnya yang mati kelaparan karena kerja paksa membangun jembatan untuk orang-orang berkulit putih itu. Kesehatan dan pangan para pekerja sangat buruk dan tidak terjamin. Belum puas dengan tekanan batin itu, Kanaraja kembali kehilangan ibunya yang tak pernah kembali lagi ke rumah. Saat itu, ibunya yang jelita itu dijemput rombongan tentara berkulit putih secara paksa. Dan sejak itu ibunya tak pernah kembali. Entah di mana dan diapakan dia.

Menginjak usia tiga belas, dengan presentase ketangguhan untuk dunia luar semakin memesat, Kanaraja memutuskan mengikuti perang bersama dengan golongannya yang masih belia. Namun sayang, sekali detus peluru yang menghujani kawannya-tepat di hadapannya-membuat nyali pemuda itu menciut saat sudah berhasil lolos dari incaran lawan.

Dan untuk ukuran seorang pengecut sepertinya yang selalu bermimpi menikahi gadis Belanda, putri jenderal ternama di desanya, yang hanya sebatas angan. Nama gadis itu Rona. Tak lain dan tak bukan hasil percampuran antara seorang kembang desa sebelah yang dipersunting Jenderal Pietter, lelaki berparas rupawan yang tegas. Gadis berambut cokelat itu selalu menarik lekat iris mata Kanaraja acap kali melintasi rumah megah keluarga itu untuk berdagang kendi. Gadis delapan belas tahun itu kerap kali menyisir rambutnya di depan jendela yang terbuka bak putri kerajaan.

Kanaraja tak peduli akan statusnya sebagai jelata. Tak tahu diri dan cari mati! Umpatan itu sering ia dengar dari mulut para tetangga yang tengah mencuci pakaian.

Pada malam purnama, pemuda dengan pakaian lusuh itu menyelinap masuk ke pekarangan rumah jenderal tersebut. Mengetuk jendela sang gadis sepelan mungkin agar tak berisik. Ia ingin menceritakan perasaannya.

Yang didapati seorang pria paruh baya yang membuka jendela dengan tampang garang, ayahnya. Tatapannya tajam dan culas. Kanaraja gelagapan. Tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya dengan nyawanya. Namun yang tak ia percayai, lelaki paruh baya itu menawarinya pekerjaan. Dengan imbalan berupa restu untuk menikahi putrinya, pun mendapat keping emas berlimpah warisannya.

Yang harus ia lakukan hanya satu. Membunuh pusat perlawanan rakyat di desanya, Kolonel Teguh. Lelaki tiga puluh tahun itu memang gencar dalam melakukan perlawanan. Menghasut ratusan warga guna menyerang titik-titik kelemahan Belanda. Sebagai pimpinan dan hanya ia yang dipercaya, ia disegani satu desa guna menegakkan keadilan. Tanpa orang itu, pasukan rakyat desa akan pecah belah, tak terkendali tanpa komando.

Kanaraja menggangguk. Demi cinta, harta, dan kuasa.

Pemuda itu mengawasi gerak-gerik lelaki berseragam cokelat. Matanya awas dan waspada. Dia benar. Hanya orang desa yang mengetahui letak persembunyian Kolonel itu, termasuk dia.

Sekali detus senjata laras panjang tepat mengenai punggungnya yang membelakangi. Dia berhasil membunuhnya!

Tak mau berlama-lama, Kanaraja beringsut pergi dari hutan belantara itu. Meninggalkan jasad sang Kolonel dengan sebutir peluru yang menembus punggungnya.

Yang ia dapati kepalsuan.

Tawa renyah para Belanda itu seakan merobek telinganya. Ia ditipu mentah-mentah. Tak ada yang bisa ia percayai dari orang-orang barat itu.

Kanaraja mundur perlahan. Kala pasukan tentara itu dengan mata nyalang menatapnya. Ia berlari sekuat-kuatnya, hingga sebutir peluru menyerempet punggungnya hingga terkoyak. Ia menahan perih. Hujan membasuh lukanya semakin perih. Kakinya melangkah letih. Kali ini, ia mengutuk kebodohannya sendiri. Pasukan tentara itu mendekat dengan senapan yang telah siap di letuskan. Malam itu, ia tidak baik-baik saja. Meregang nyawa, karena seorang gadis jelita yang bukan haknya untuk dimiliki.

«Terima kasih sudah membaca»

Event 73 Tahun IndonesiakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang