Entah sudah berapa lama rasa itu ku endapkan, aku hanya tidak ingin merusak segala hal yang telah 'kami' ukir dalam lembaran ini. Meski terkadang lelah menutupi rasa yang tiba-tiba menyembul ke permukaan.
Jam weker berdering nyaring tepat di sebelah telinga. Aku langsung terduduk dengan mata terbelak. Siapa lagi yang berani menaruh jam weker butut ini di atas bantal.
"Kak Tiaaaaaaaa." jeritku sambil membanting jam weker yang sebenarnya tak bersalah ini. Ibu tergopoh-gopoh memasuki kamarku yang tidak terkunci, "MasyaAllah, cah bagus." desis Ibu begitu melihat jam weker ber-background batman ini pecah namun masih berdering, membuatku semakin ingin menendangnya.
Ibu memandangiku sambil menggeleng-geleng, mengelus dada melihat tingkahku yang berlebihan. Aku segera mandi dan menunaikan ibadah sholat shubuh, kemudian membuka buku pelajaran sebentar. Aktivitas di rumah memang dimulai sepagi ini, setelah memastikan semua buku berada di dalam ransel, aku segara bergegas untuk sarapan.
"Ada apa? Kamu tadi manggil kakak?" tanya Kak Tia dengan tampang innocent, aku memandanginya dengan tatapan tajam.
"Sudah, sudah. Masih pagi jangan bertengkar, kalian ini kenapa selalu saja tidak pernah membuat ibu yang menua ini tenang?" lerai Ibu. Jika kami sudah mulai ribut dan bertengkar, ibulah yang akan menjadi wasitnya. Meski kami hanya bertengkar secara lisan.
"Kak Tia tuh bu, masa jam weker ditaruh disamping telinga Al. Bercandanya kan udah kelewatan bu, telinga Al jadi berdengung juga jantung Al berdetaknya nggak karuan." Ku adukan kekesalanku pada Ibu. Kubuat ekspresi wajahku sekesal mungkin. Kak Tia hanya cengengesan mendengar penuturanku.
"Kamu itu kak, kalo bercanda itu jangan kelewatan. Kalo adikmu kena serangan jantung gimana? Dia ini kan adik kamu satu-satunya." Ibu memulai ceramah yang 'agak' membelaku. Aku tersenyum menang, Kak Tia melirikku sekilas.
"Kita itu harus saling menjaga dan rukun, jangan setiap hari beranteeem terus." lanjut Ibu memberi kami wejangan pagi, tangannya dengan cekatan memilah berkas-berkas penting. Kadang aku kasihan dengan Ibu, beliau lelah bekerja dan harus mengurus kami dan sering menjadi penengah sekaligus penasehat kami.
"Yah Ibu, kan Tia cuma mau lebih akrab sama adikku ini." jawab Kak Tia mengerling ke arahku, aku hanya menatapnya sinis plus sebal. Kak Tia segera membukakan pintu begitu mendengar bel yang berbunyi, "Al, noh udah disamperin sama Kia." ucap Kak Tia kemudian melanjutkan sarapannya.
Di rumah aku memang dipanggil Alfa namun teman-teman di sekolah memanggilku dengan nama depan, Maru. Aku segera menghabiskan sarapanku, dan mengambil tas. Ku hampiri Ibu yang sedang mengobrol dengan Kia di teras. Setelah mencium tangan Ibu untuk pamit berangkat ke sekolah, aku melangkah keluar dengan dibuntuti Kia.
"Maru, penyerahan jabatannya kapan?" tanya Kia menjajari langkahku. Kami telah terbiasa berangkat ke sekolah bersama.
"Mungkin setelah kenaikan kelas." jawabku sedikit bimbang. "Belum aku bicarakan sama pengurus lain sih." lanjutku menatap ke depan.
"Gitu yah. Rasanya waktu itu cepat sekali berlalu yah." Kia melangkah mantap dengan pandangan menerawang kedepan.Wajahnya tampak ayu dengan tampang tenang, hidungnya terlihat bangir dari samping.
"Iya, dulu kita masih bocah, sekarang udah beranjak dewasa aja." Aku menimpali dengan sedikit menggodanya, ku acak-acak rambutnya. Namun Kia tak merespon dan hanya memasang mimik sebal.
"Kemarin kayaknya ada berita heboh deh." ucap Kia tanpa menoleh, mimik wajahnya aneh antara serius dengan bercanda yang bercampur padu. Aku diam saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Dua Hati (COMPLITED) (BACA DULU AJA)
Teen FictionAku melepaskanmu dan kau melepaskanku. Seperti merpati yang terbang bebas. Aku ingin kita sama-sama bahagia meski tak lagi bisa bersama. Ketika dipenghujung tercipta kelokan, aku memutuskan untuk tak lagi menjajari langkah. Dipenghujung jalan, kita...