Mika berdiri di depan pintu kelas Miko sambil memainkan kunci sepeda motor. Hari ini dia ingin melaksanakan amanat Sang Kakak tertua supaya mengantarkan Miko terlebih dahulu ke pameran buku sebelum datang ke turnamen. Cukup menyebalkan sebenarnya. Seperempat menit lagi turnamen akan segera di mulai dan Mika malah melihat Miko berjalan dengan santainya.
Mika hilang kesabaran. Dia masuk ke dalam kelas menjemput Miko dan menariknya dengan kasar dan cepat.
Jelas-jelas para gadis langsung memekik senang. Mika sang idola yang kelewat dingin dan tampan, secara gratis dapat mereka tonton dengan mudahnya dan dengan jarak yang sangat dekat.
Miko memutar bola mata malas. Walau dia sendiri tak kalah tampan dari Mika, namun pamor Mika sebagai ketua OSIS sangat diperhitungkan di hati para gadis di sekolah mereka.
Miko menghempas tangan Mika kasar saat sudah jauh dari kelas. Dia memilih berhenti hingga membuat Mika semakin geram saja.
"Lo mau jalan kaki??" tanya Mika sebal.
Pertanyaan yang menurut Miko sangat menjengkelkan. Dia sedikit merasa diremehkan. Dia merasa seolah-olah Mika berfikir dia tidak bisa pergi kemana-mana tanpa Mika.
"Menurut lo selama ini gue berpindah tempat nggak jalan kaki?? Terus, lo pikir selama ini gue pakai kaki gue buat apaan?? Lo fikir gue berpindah tempat dengan lompat, gitu ??"
"Ya kali aja," sahut Mika ingin tertawa, tapi dia tahan.
Membayangkan Miko berpindah tempat dengan melompat-lompat membuatnya semakin geli. Ini namanya bukan manusia lagi, tapi lebih enak disebut pocong. Mika bergidik ngeri membayangkannya hantu lokal yang mirip bungkusan permen itu. Namun akhirnya tak kuasa menahan senyum.
"Ngapain senyum-senyum?" kata Miko sewot.
"Terserah gue lah. Senyum itu kan ibadah. Jadi selain tampan dan murah hati, gue juga pengen murah senyum juga. Gue pengen dapat pahala. Udahlah.. Buruan!! Gue nggak mau berantem."
Mika siap menarik tangan Miko lagi, tapi dihempas Miko dengan kasar.
"Iya. Iya. Nggak usah pakai narik gue juga, kali. Gue bisa lihat jalan," kata Miko sewot. Ditarik-tarik Mika itu serasa seperti orang buta yang tidak tahu kemana harus melangkah.
"Makanya, buruan!! Lo nggak lihat gue ada turnamen. Jalan kaki lelet banget kayak keong setahun nggak makan."
"Daripada cerewet dan nggak ikhlas, mending pergi aja deh lo. Gue bisa pergi sendiri tanpa lo. Gue punya kaki."
"Okay. Fix. Lo pergi sendiri. Dan lo harus tanggung jawab kalau tiba-tiba Kak Sam marah sama gue gara-gara nggak nganter lo."
"Terserah Kak Sam lah. Mulut juga mulutnya Kak Sam. Gue nggak berhak ngelarang Kak Sam. Jangan salahin gue juga. Salah lo sendiri nggak sabaran. Wle!!!" kata Miko menjulurkan lidah di akhir kalimatnya. Miko memang tidak manja dan cengeng seperti Miki, tapi sikap kekanakannya tidak berubah.
Mika cukup hilang kesabaran. Dia menarik tangan Miko setengah berlari menuju parkiran. Dia tidak mau telat dan tidak mau dimarahi Samudra.
Miko merasa bersalah saat sudah sampai parkiran. Wajah Mika yang tadinya merah marah sudah berubah pucat. Miko juga mendengar Mika terlalu cepat ketika menghirup nafas, membuat Miko sedikit khawatir. Padahal jelas-jelas pertandingan basket belum juga dilaluinya. Tapi cara bernafas Mika sudah sangat memprihatinkan seperti itu. Namun Miko bersikap biasa saja. Dia cukup mengenal Mika yang sok kuat. Bahkan selain sok kuat juga sok cakep menurut kamus Miko. Miko memutar bola malas. Dia tidak mau Mika tahu dia mengkhawatirkan Mika. Rasa gengsinya terlalu besar.
"Pakai!!" bentak Mika sambil mengarahkan helm ke arah Miko.
Miko tidak protes. Dia memakai helm itu. Setelahnya, Miko menggeser Mika kebelakang. Mika sedikit bingung, namun dia memilih menurut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGEL'S TRIPLET [END]
Fiksi UmumKehidupan itu seperti roda yang berputar. Tidak bisa selalu bertahan di tempat yang sama. Mungkin, Sam belum menyadarinya. Waktu akan terus bergulir seperti bumi yang terus berotasi pada porosnya, mendatangkan fajar dan senja di hari berikutnya. Sa...