Chapter 2

28 5 0
                                    

Apapun masalahmu, aku akan tetap menjadi sandaran, yang kau butuhkan ketika perlu, dan kau hancurkan ketika kesal...


...{ Ihsan }...

------------------------------
---------------
-----


Jakarta, 23 Agustus 2006


Humaira terbangun oleh getaran jam bekernya yang selalu membuat moodnya buruk. Ia ingin sekali mencekik orang yang selalu salah mengatur jam bangunnya yang tak lain adalah adiknya, Rizal.


"Dan sekarang jam 3 pagi? Benar-benar." ia menyingkap selimut dan berjalan keluar kamar dengan jam beker di tangannya, menuju sebuah pintu yang ada disamping pintu kamarnya.


Dengan perlahan, ia membuka pintu kamar adiknya dan meletakkan jam beker miliknya yang akan berbunyi sepuluh menit lagi.


-Kenapa harus jam miliknya? Karena Rizal selalu bangun tepat waktu dan tak butuh alat untuk membangunkannya.


Merasa semua sudah sesuai dengan keinginannya, ia keluar kamar dan menuju ke atas kasur empuknya setelah memastikan pintu kamarnya terkunci.


"Hihihii, rasain." Humaira pun kembali menarik selimut dan berusaha untuk kembali tidur.


Semenit.

Tiga menit.

Enam menit.

Ah...

Humaira mendesah kasar. Ia benci hal ini, matanya tak ingin menurut pada hatinya.


Karena tak kunjung bisa kembali tidur, ia pun turun dari tempat tidur dan berjalan ke meja belajarnya. Baru saja ia membuka laci dan meraih buku diary merah jambu dengan corak volkadot yang tak sama besar berwarna putih, jam bekernya berdering kuat disertai teriakan kejut adiknya yang sangat lucu baginya.


"Hihihi, rasain. Emang cuma lo yang bisa jail?"


Tak peduli dengan suara gaduh di kamar sebelahnya, Humaira tetap melanjutkan apa yang ingin ia kerjakan.


Tok tok tok tok...


Humaira tersenyum, sang adik kini sedang mengetuk pintu kamarnya. Ia bisa menebak adiknya sedang kesal sekarang.


"Sayang, ada apa?" sebuah suara lembut memasuki pendengarannya.


"Kak Tasya, bun. Atur dering jam di jam segini." rengek sang adik.

Humaira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang