4. When I was Your Man

968 157 92
                                    

[baca sampai akhir ya, siapkan tisu. hehe]







2020



Pemuda itu membuka matanya perlahan, ketika mentari pagi perlahan menyelusup ke sela-sela tirai kamarnya. Biasanya ia tidak akan bangun, dan akan lanjut menutupi sekujur tubuh hingga kepalanya dengan selimut dan kembali tertidur. Tapi kali ini ia membuka mata, dan terbangun dengan perasaan hampa.

Pagi ini, pagi ketujuhnya tanpa gadis itu. Tanpa deringan telepon dengan nama pemanggil favoritnya, yang hanya akan mengucapkan selamat pagi dan menyuruhnya agar cepat-cepat mandi dan tidak lupa dengan janji kencan mereka. Karena pemuda itu sering lupa, saking malasnya untuk membuka mata dan beranjak dari tempat tidur.

Ia masih ingat, belakangan gadis itu sedang senang menghabiskan hari-harinya dengan bermain ke tempat-tempat terbuka dan lumayan jauh dengan pemuda itu. Terakhir, pemuda itu memboncengi gadisnya ke puncak. Gadis itu menolak menggunakan mobil, karena sudah terbiasa jalan kemanapun dengan pemuda itu pasti menggunakan CBR si cowok, katanya enak, adem, kena angin.

Tapi sudah tujuh hari dan beberapa hari sialan sebelumnya, gadis itu membangun dinding tinggi di antara mereka, seolah memblokir pemuda itu dari kehidupannya. Karena seberapa keraspun usahanya untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya, segalanya akan sama saja.

"Ada orang yang lebih butuh kamu. Biarin aku pergi aja," kata-kata terakhir yang gadis itu katakan di bandara, di malam perpisahan sialannya tujuh hari yang lalu. Hari yang mungkin akan ia benci seumur hidupnya.

Belakangan, hidupnya jadi berantakan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia sama sekali tidak menaruh minat pada gadis yang seharusnya 'lebih membutuhkannya' seperti yang dikatakan Roseanne.

Katakan ia jahat, tapi ia benar-benar tidak ingin hidup seperti ini. Ia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang tidak ia cintai. Tapi mau bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki yang harus bertanggungjawab. Jadi ia memutuskan untuk menemui gadis itu, dan gadis kecil satunya yang berhasil menarik simpati darinya.

Junendra tidak pernah merasa terenyuh saat melihat anak kecil. Tapi gadis kecil yang sebentar lagi akan berusia satu tahun itu berhasil membuat hatinya melunak.

Hari itu, Mina meminta June untuk menemui Lea di rumah sakit.

"Gue bukan siapa-siapa di hidup lo. Jadi enggak apa-apa kalau lo enggak melakukan apa-apa buat gue. Tapi gue mohon, buat Lea. Gue enggak tahu berapa lama lagi Lea bisa bangun dan bertemu matahari pagi,"

Mina duduk di sebelah ranjang tempat Lea kini tengah terduduk dan memakan jeruknya dengan berantakan. June memandang dua sosok di hadapannya dengan tatapan kosong.

"Gue enggak pernah membatasi Lea mau melakukan apa, selama itu enggak membahayakan dia. Jadi gue biarkan dia makan jeruk sendiri walau pada akhirnya gue harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencuci baju-baju dan selimutnya," tutur Mina, tersenyum pada putri kecil yang sedang mengulum buah jeruk di mulutnya dengan mata berbinar dan senyum merekah.

"Selama dia bahagia, gue rela mengorbankan kebahagiaan gue sendiri. Karena gue enggak tahu kapan Tuhan bakal mengambil kembali ciptaan terindah yang pernah Dia titipkan ke gue ini,"

One Perfect Rose - I lost her [JUNROS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang