Ares mendengus lelah. Sudah 3 bulan ia tidak bertemu dengan wanita yang sangat ia cintai dan rindukan itu. Tiga bulan itu juga ia harus menahan rasa cemburu yang memenuhi dirinya setiap melihat foto Aphrodite dan Edmund yang layaknya tak pernah berpisah. Bukan karena tanpa alasan selama 3 bulan ini ia tak menemui wanita itu, perusahaan yang ia pimpin sedang mengalami masalah yang cukup besar sehingga ia harus ikut turut ambil andil.
Namun Ares tersenyum, mengingat esok adalah tanggal merah. Itu artinya Aphrodite pasti takkan memiliki jadwal dan akan punya waktu luang untuk ia ajak jalan-jalan. Senyum manis pria itu kian melebar membayangkan kencan mereka esok.
Sementara itu Aphrodite sekali lagi memejamkan matanya. Sudah beberapa jam ia mencoba untuk tidur, tapi tak pernah berhasil. Semua itu karena pria yang berada di sana.
Aphrodite merindukannya.
Ya. Aphrodite akui ia merindukan Ares meski selama 3 bulan ini Edmund selalu bersamanya.
Sebelumnya ia yakin ia baik-baik saja selama 6 bulan tanpa pria itu. Tapi semenjak mereka bertemu kembali, rasa itu kembali menyeruak. Dan Aphrodite tak tahu harus bagaimana untuk menghentikannya.
Malang sekali dirimu, Aphrodite. Kau seharusnya sadar diri pria itu sudah menolakmu berkali-kali. Dasar wanita bodoh, batinnya dalam hati.
Entah sudah berapa ribu kali Ares selalu menolaknya. Sejak mereka pertama kenal saat usia dini, masuk remaja, bahkan hingga dewasa, tatapan Aphrodite selalu jatuh pada pria itu. Sayangnya Ares tak pernah melirik Aphrodite sekalipun.
Senyum Aphrodite terpatri di wajahnya saat ponselnya menyala dan menunjukkan notifikasi pesan dari Edmund. Ah, Edmund. Pria itu selalu bisa membuat Aphrodite tersenyum dan merasa dicintai. Dadanya berdegup keras jika berada di dekat pria itu. Ia menyadari ia mulai membuka hatinya untuk Edmund. Namun apa itu berarti ia sudah merelakan Ares?
---
Pukul 7 pagi Ares keluar dari kamar mandinya dan memperhatikan dirinya di cermin sekali lagi hanya untuk sekadar meyakinkan dirinya sudah terlihat sempurna. Setidaknya untuk wanita di sana.
Ia memperbaiki lagi letak rambutnya yang sudah ia potong rapi, kaus polo biru dongkernya, dan celana pendek sepanjang lutut warna putihnya. Ia juga tak lupa memasangkan kakinya sepasang sneakers putih dengan merk ternama dan kacamata hitamyang melengkapi harinya di musim panas ini.
Ia kemudian mengemudikan mobil sport hitam kebanggaannya, membelah jalanan kota New York, menuju sebuah tempat yang telah ia incar selama setengah tahun ini. Selama perjalanan itu juga ia tak pernah menghilangkan senyumannya. Ia sangat semangat bertemu wanita pujaannya. Aphrodite pasti takkan menolakku, yakinnya sambil mengganti rem dengan tangan kekarnya.
Tak perlu berjam-jam untuk tiba di tujuannya. Beberapa menit kemudian Ares telah tiba di depan sebuah rumah sederhana khas Amerika. Di depan pintu garasinya terparkir sebuah mobil sedan biru tua.
"Seleramu masih sama, ya. Sangat sederhana," bisik Ares sambil memperhatikan rumah itu.
Dengan gugup ia melangkahkan kakinya ke depan pintu. Menghela nafas, ia menekan bel beberapa kali.
"Astaga siapa yang bertamu di hari libur pada jam segini?" keluh Aphrodite dengan suara paraunya, ciri khas orang terbangun dari tidurnya. Ia dengan malas mengintip ke luar jendela kamarnya. Kedua alisnya terangkat melihat sebuah mobil mewah terparkir di pinggir jalan, tepat di depan kotak pos rumah sewaannya.
Penasaran, Aphrodite mengenakan kimono paginya dan melangkahkan kakinya menuruni tangga menuju pintu utama. Ia mengintip sekali lagi lewat lobang pengintip yang kecil di pintunya. Dan saat itu juga, jantungnya terasa berhenti berdetak. Untuk apa pria itu kemari? paniknya.
Aphrodite menoleh pada cermin di sampingnya, dan semakin panik saat melihat tampang khas bangun tidurnya. Wajahnya tampak kusut dan rambutnya berantakan. Selain itu, ia seringkali tak percaya diri menghadapi dunia tanpa olesan make up di wajahnya.
Aphrodite berlari sekencang mungkin ke kamar mandi lantai bawah dan membasuh wajahnya dengan air dingin, kemudian menyisir rambutnya dengan cekatan. Ia menghela nafas dan memberanikan dirinya membuka pintu untuk pria itu.
"Selamat pagi," sapa Ares dengan senyuman menawan di wajahnya.
Aphrodite rasanya sangat ingin membalas senyuman pria itu. Tapi ia harus ingat, Ares menolaknya berkali-kali dan ia takkan menerima pria itu dengan mudah. Astaga, Aphrodite, kau begitu berharap tinggi! makinya pada dirinya.
"Apa ada yang bisa kubantu?" Aphrodite mengeratkan pelukannya pada kimono yang ia kenakan.
"Pertama-tama, kau terlihat sangat cantik hari ini," puji Ares. "Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan."
Aphrodite menaikkan sebelah alisnya dan memundurkan sedikit wajahnya, menandakan wanita itu bingung. "Apa?"
"Apa?" Pria itu malah balik bertanya.
"Ada apa denganmu?"
"Apa? Memang apa yang salah denganku? Aku hanya mengajakmu jalan-jalan. Bukankah ini hari libur nasional?"
Aphrodite menghela nafas. Ia melirik jam di dinding yang berada di atas ia berdiri. Sudah hampir pukul 8. Itu artinya Edmund akan segera datang sebentar lagi. Mereka sudah berjanji akan berlari pagi sekaligus piknik di Central Park.
"Tidak. Aku tidak bisa," tolak Aphrodite, hendak menutup pintu. Namun tangan kekar Ares menahannya. "Kenapa?"
"Karena ia sudah memiliki janji denganku," jawab pria di belakangnya yang baru saja tiba dengan sepeda motor Harley-nya.
Ares menoleh dan menggeram kecil. Sementara Aphrodite segera lari ke kamarnya dan mempersiapkan dirinya dengan pakaian olahraga.
"Aku datang lebih dulu," ujar Ares dengan sebal. "Ya tapi aku membuat janji terlebih dulu," balas Edmund. "Dan aku hendak melamarnya hari ini," lanjut pria itu dengan sombong menunjukkan beludru hitam kecil.
Nafas Ares memburu. Apalagi saat beberapa detik kemudian Aphrodite kembali, sudah siap dengan pakaian olahraganya yang cukup terbuka.
"Ayo." Wanita itu tersenyum kemudian menutup pintu rumahnya. Saat Edmund baru saja akan mengamit tangan wanita itu untuk berlari bersama ke Central Park yang memang tidak terlalu jauh dari mereka berada sekarang ini, Ares sudah terlebih dahulu menggenggam tangan Aphrodite, menahannya di sisinya. "Jangan pergi, kumohon."
Namun dengan tegas Aphrodite menghentakkan tangannya hingga terlepas dan segera mengikuti Edmund, meninggalkan Ares yang emosi setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Goddess
Short StoryAres adalah milik Aphrodite. Begitulah mindset wanita itu beberapa tahun lalu. Untungnya sekarang ia sudah dapat merelakan pria itu dan kembali membuka hatinya. Kebalikannya, Aphrodite adalah milik Ares. Begitulah mindset pria itu hari ini. Dan Ares...