LIMA | We Don't Care

8 1 0
                                    

  'Tunggu, apa yang ia katakan? Kencan?!' 

Pada pukul enam tepat keesokan harinya, Alanna bisa mendengar suara klakson mobil dari apartemennya di lantai tiga. Ia membuka jendela kamarnya yang menghadap ke arah jalanan. Pemuda itu membuka pintu, dan melangkah keluar lalu bersandar pada mobilnya. Ia menatap ke bangunan itu dan mengeluarkan ponselnya sembari menunggu Alanna. 

Alanna dengan cepat berganti baju, dan berlari turun. Saat ia menghampiri pemuda itu, ia dalam keadaan terengah-engah yang membuat pemuda itu mengangkat tatapannya kepadanya dan terkekeh. "Whoa, aku tidak tahu kau begitu antusias untuk bertemu denganku," ujarnya terkekeh yang membuat gadis itu memeberinya tatapan datar. 

Pemuda itu mengenakan celana jeans berwarna terang serta kaos putih, juga jam tangan elegannya, dan rambutnya tertata rapi. Ia akan berbohong jika mengatakan jika pemuda itu tidak lah tampan. Tidak, ia akan memukau gadis manapun yang melihatnya. Terutama dengan bentuk badannya yang proposional itu terbentuk dengan pas pada kaosnya. Alanna tidak akan terkejut jika ia akan mendengar jeritan nanti. 

"Aku mengira kau hanya bercanda," ujarnya dan pemuda itu kembali terkekeh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku mengira kau hanya bercanda," ujarnya dan pemuda itu kembali terkekeh. "Ayo," ajaknya sembari membuka pintu penumpang dan mendorong Alanna masuk dengan lembut. Sepanjang perjalan berlangsung dengan hening. Alanna tidak tahu apa yang harus ia lakukan, sedangkan Dean hanya mengemudi dengan senyum tipis terlukis di wajahnya. 

"Kemana kita?" tanya Alanna akhirnya membuka suara, namun tidak lama mobil itu memasuki lahan parkir dan berhenti. "Mengapa kau tidak melihatnya sendiri?" ujar Dean dengan senyum sok misterius yang membuat Alanna menghela nafas. Pemuda itu mengiringnya masuk kedalam sebuah tempat dengan nuansa natural , disertai dengan lampu-lampu indah, serta lilin-linin kecil pada setiap meja menghiasi tempat itu,  bertepatan dengan hari yang mulai menggelap membuat tempat itu amatlah nyaman. 

Dean menariknya menyusuri meja-meja dan akhirnya mereka tiba di sudut ruangan dimana pemuda itu mendudukkannya disebuah bangku, lalu berjalan menuju panggung kecil disana, bergabung dengan teman-temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dean menariknya menyusuri meja-meja dan akhirnya mereka tiba di sudut ruangan dimana pemuda itu mendudukkannya disebuah bangku, lalu berjalan menuju panggung kecil disana, bergabung dengan teman-temannya. 

Ia meraih mikrofon, dan tersenyum. "Malam semuanya, ini kami -we don't care- lagi," ujarnya dengan memberi sedikit jeda pada kata terakhir yang menyambut tawa beberapa pengunjung sebelum ia kembali melanjutkan. "Malam ini kami akan membawakan lagu terbaru kami. Sherrad's Cafe & Resto, this one's for you," ujarnya mengedipkan sebelah mata, lalu lagu pengiring mulai terdengar. 

Tatapan Alanna- dan mungkin seluruh isi tempat itu, termasuk para staff- memfokuskan pandangan mereka kepada keempat pemuda itu. Keberadaan mereka, lantunan musik mereka membuat suasana di tempat itu lebih hidup, dan lebih nyaman. Walau ini kali Alanna berkunjung ke tempat ini, ia tidak akan terkejut jika tempat ini menjadi tempat favoritnya yang baru. 

Alanna memprehatikan dengan saksama saat pemuda itu bernyanyi seolah ia mencurahkan hatinya disana. Pemuda itu mendongak setelah menatap gitarnya, dan matanya terarah pada Alanna. Ia tersenyum dan kemudian, mereka kembali lagi di aula. 

  Maybe you think I'm selfish, 'cause I can't let you go
But baby I just can't help it, no, no, and no
Baby we've both been selfish, 'cause we can't be alone
Baby we just can't help it, help it 

Pemuda itu menatapnya lurus ke matanya dan kalimat itu seolah memang pemuda itu tujukan kepadanya. Seandainya jika ia melupakan bahwa proses membuat lagu tidak berlangsung dalam satu menit, ia akan memikirkannya sepanjang waktu, apa mereka pernah bertemu sebelumnya?

Lagu berakhir dan ia mengumumkan jika mereka akan menyanyikan lagu lain satu jam kedepannya, sebelum akhirnya meninggalkan panggung dan bergabung dengan Alanna di meja untuk enam orang tersebut. Jason mengenakan kaos serupa dengan Dean, hanya berwarn biru tua. Romeo sendiri memiliki panjang teracak, dengan hoodie berwarna maroon, dan celana putih. Ia adalah seorang drummer, sehingga sepatu Supra merah tingginya tidak terlihat sebelumnya. Sedangkan James sendiri mengenakan kaos putih polos, dengan jas tipis, serta celana jeans hitam. Tatanan rambutnya rapih, dan tidak terlalu panjang. Ia mengenakan sepatu Nmd berwarna hitam. 

Mereka memesan makanan dan keempat pemuda itu bercakap-cakap santai, sementara Alanna hanya memperhatikan dalam diam. Persahabatan mereka adalah sesuatu yang ajaib. Sesuatu yang Alanna harap dapat ia rasakan suatu saat nanti. "Kau tidak mengundang Beth?" tanya Dean yag dijawab gelengan oleh Jason. "Ia marah padaku karena ia masih marah kepadanya," jelas Jason sembari menunjuk Romeo melalui mataya. 

"Dibanding membicarakan hal tidak penting seperti Romeo-" Romeo mendelik dan menatap tajam temannya itu, dan ia bahkan menggubrisnya. "Lebih baik kita membicarakan betapa manis Kim terlihat saat ini," ujar James yang langsung disahuti oleh Dean. "Aku tahu, bukan? Walau aku berani menduga jika selama dirumah, ia hanya akan mengenakan tank top dan celana pendek saja. Bukankah begitu?" tanya Dean dengan cengiran yang membut Alanna memukul lengannya kesal, dan menatapnya tajam sementara pemuda itu terkekeh. 

Alanna saat ini mengenakan tank top berwarna maroon, celana jeans panjang berwarna terang, sepatu booth hitam, dan cardigan putih ke- kreman, dengan rambutnya yang tergerai membuatnya mencuri perhatiaan orang-orang kepadanya dengan penampilannya yang simpel nan manis.

"Ayolah, jangan bocorkan rahasiaku," ujar Alanna jenaka yang membuat James tertawa. "Brother, aku menyukai gadis ini," ujarnya yang membuat Dean memutar bola matanya malas, diikuti deringan tawa teman-temannya yang lain.

Pelayan datang dan mengantarkan makanan yang para pemuda itu pesan. James sendiri melarang Alanna memegang menu sampai memicu kegaduhan kecil sehingga Alanna berpasrah dengan apapun yang pemuda itu pesankan untuknya.

"Tidak seharusnya kau mempercayai James," ujar Jason mendecak saat melihat James mendorong sepiring makanan kehadapan Alanna. Di piring tersebut terdapat sebuah menu pasta dengan tekstur creamy, dan jamur, sesuai namanya Creamy mushroom fettuccine. "Kau tahu, adikku akan mengomel sepanjang hari jika memakan pasta. Terlalu banyak kalori, katanya."

James mengangkat bahunya dan tersenyum, "Yah, aku tidak bisa membantu mengenai hal itu," ujarnya pada Jason sebelum menatapnya, "Dan aku memesan makanan dengan lebih banyak kalori. Tidak ingin merusak dietmu, jadi maaf. Walaupun jika kau ingin bertukar, aku akan menolak." 

Senyum Alanna menguap saat ia mendengar kata-kata Dean yang malah membuatnya menatap pemuda itu malas. "Kau sudah kurus. Yang ada harus kupesankan seporsi mi dengan nasi supaya kau tak tampak seperti orang kekurangan gizi."

Alanna tidak merespon apapun, tidak berminat dan terutama Jason sudah mendahuluinya. "Dude, jangankan adikku. Aku juga akan protes mengenai itu. Nasi dan mi? yang benar saja. Berapa banyak karbohidrat yang akan kau makan dalam satu porsi? belum lagi dengan glukosa yang terdapat dalam nasi-"

"Aku tidak bicara denganmu, Jason. Aku takkan mengacaukan dietmu," ujar Dean sewot yang malah membuat Jason makin tidak terima. "Aku hanya mengutarakan fakta." Cek-cok berlangsung dengan cukup lama, namun hal itu malah menjadi hiburan pada sesi makan malam itu. Alanna menatap keempat pemuda dihadapannya, dan merasa kagum dengan persahabatan mereka yang berlangsung cukup lama. Namun ia juga menyukuri bisa mendapat kesempatan untuk mengenal mereka.

Jason maupun James terus memastikan untuk menyertakannya dalam percakapan, dan ejekan terhadap Romeo pun tidak luput dari bahan omongan. Bahkan saat mereka melangkah maju untuk menghampiri panggung, mereka menyempatkan diri untuk menjahili satu sama lain, dan Alanna terus tertawa karenanya.

Namun saat pemuda itu kembali berdiri di posnya, dengan gitar pada genggamannya, dan tatapan yang bertemu dengannya, ia dapat merasakan dirinya tersesat pada pandangan pemuda itu, seiring dengan jalannya lagu.

'Apakah ini hal baik?'

200818

B A D [ slow update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang