Jarak Tak Akan Memisahkan Kita

174 6 0
                                    

Jarak Tak Akan Memisahkan Kita
Oleh: fiapermata
@fiaperma.ta22

"Safira!" Teriak seorang pria memanggil si gadis. Sang gadis berhenti berjalan menjauh darinya. Menolehkan kepalanya dengan malas menahan rasa kesal yang kentara. "Apa?" "Ini untukmu" diulurkannya setangkai bunga mawar yang tampak masih segar baru dipetik. "Tidak" Melengos penuh tanda tak suka. Dia menyogokku? "Ayolah Safira... Jangan cemberut seperti anak kecil yang ngambek hanya karena aku terlambat 10 menit menjemputmu. Tunjukkan padaku senyummu yang selalu manis di mataku seperti biasa" Seketika panas menjalari kedua pipi. "Aku bisa melihat pipimu Safira..." Ucapnya sambil menahan tawa. "Berhenti menggodaku, Rian!" Nyaring terdengar suaranya disertai pukulan di lengan Rian sembari menutupi kedua pipinya yang memanas. Dasar! umpatnya. Gelak tawapun pecah seketika memecah sunyi halaman kampus yang memang sudah kosong. Wajah itu merenggut kesal. Perlahan Rian meredakan tawanya "Ra, aku tau kau akhir-akhir ini kesal bukan karena itu" Ia menghela nafas sejenak. "Maaf" Gadis yang dipanggil "Ra" tersebut menatap mata Rian yang kini juga menatapnya. "Percayalah, jarak yang membentang justru membuat kita semakin dekat. Pergilah dan saat kau kembali, mari kita wujudkan impian kita. Menikahlah denganku. Aku akan setia menunggumu. Lakukan tugasmu, jarak tidak akan memisahkan kita. Cinta kita akan jadi penguat antara kita." terenyuh mendengar perkataannya. Ra menatap lurus dalam kedua mata Rian, pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Berusaha mencari kebohongan tersirat di sana. Nihil. Dia tulus. "Jarak tak akan memisahkan kita?" Ulangnya pada Rian yang dijawab anggukan mantap oleh empunya. Bagai tersihir sang gadispun ikut mengembangkan senyum bahagianya. Merekapun tertawa bahagia beratapkan langit senja sore itu yang kian menambah manis suasana.

Sekelebat memori menghantam kepalaku, berputar bak rol film. Memori manis yang sekarang berujung tragis.

"Rian" lirih bunyi terdengar. Seketika bulu romaku berdiri. Ada yang memanggil. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru berharap menemukan asal suara. Nihil. Tak ada siapapun. Mencoba mengabaikannya dan menganggap seolah hanyalah hembusan angin yang berlalu. Jam menunjuk pukul 23.15. Malam semakin larut. Kutatap Rian. Tatapannya kosong memandang bingkai yang tergantung di dinding. Di mana tatapan ceriamu yang dulu? batinnya. "Rian"  Menepuk bahunya pelan. "Biarkan Safira tenang di sana. Aku akan membantu dan mendukungmu agar kau merelakan kepergiannya" Hawa dingin terasa semakin menusuk tak kala selesai mengucapkan kalimat itu. Aneh. "Tidak Lisa! Aku sudah mengikhlaskan Safira. Aku hanya masih tidak percaya Safira pergi secepat ini! Setahun lagi kami menikah Lis!" Rian membentak dan... menangis? Tak pernah terlihat dia serapuh ini sebelumnya. Mengalihkan pandangan ke arah papan pemberitahuan. "Safira Zevanya Putri" sederet nama tercetak jelas dalam daftar pengumuman korban tewas pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan 8501 yang menewaskan seluruh penumpang.

Lisa Purnama yang saat ini bersama Rian, sekaligus sahabat Safira dan Rian. Menatap sendu papan pengumuman tepat setelah 30 hari tragedi na'as tersebut, ironis memang sebuah ikatan yang harus dipisahkan oleh takdir. Siapa yang bisa melawan takdir dari-Nya? Menepuk pelan punggung Rian berusaha menenangkannya. Berkali kuajak dia untuk pergi tapi dia masih belum ingin beranjak.

"Rian, kau bilang jarak takkan memisahkan kita?"  Suara lirih itu terdengar lagi disertai tawa yang terdengar hambar. "Masih tidak kupercaya semua ini fakta yang kuharap hanya bunga tidur dan setelah aku bangun semua akan baik-baik saja. Kini jarak benar-benar telah memisahkan kita. Bahkan kita di alam yang berbeda. Aku tidak terima. TIDAK!" kali ini gumaman itu berakhir dengan bentakan.

Kuusahakan untuk mengabaikannya. Pemilik suara itu adalah... Safira.

"Kini aku tidak bisa memilikimu, mewujudkan mimpi yang pernah kita bangun bersama. "Bahkan aku tidak bisa menyentuhmu!" Suara itu mulai berteriak yang kutau semua pasti akan sia-sia, hanya aku yang bisa mendengarnya. Kulirik Rian yang masih setia di tempatnya. Sebenarnya rasa takut mulai menggerogoti jiwa. Lolongan anjing kampung dan burung hantu terdengar saling bersahutan. "Kecuali jika..." Gumaman lirih itu menggantung. Kuberanikan diri menatap sumber suara.

Deg.

Jantungku berpacu dengan cepat seakan ingin melompat dari tempatnya. Di sana, terlihat seorang wanita dengan gaun putih menjuntai tanah. Samar terlihat karena lampu yang temaram. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk smirk menakutkan, aura jahat terpancar jelas keluar dari dalam tubuhnya, ditandai dengan munculnya kedua taring gigi. Perlahan wujud itu berubah dari yang serba putih menjadi sama persis korban yang baru kecelakaan tragis. Kepala itu mengucurkan darah, kaki patah, tangan yang tak lagi utuh, darah segar yang menetes dari hidung tak henti mengalir disertai bau anyir yang menyengat tercium memenuhi segala ruang. Lolongan anjing dan burung hantu kian gencar bersahutan. "Kecuali jika aku membunuhmu!" Matanya menyorot tajam ke arahku dan Rian. "Rian ayo pergi! Cepat, cepat! Di sini tidak aman" Dengan cepat kudorong Rian yang berdiri di sampingku agar menjauh dari bandara.

Tawa jahat terdengar menggema menghias wajah yang kini hancur, memecah keheningan malam.
Rian menurut meski tak paham akan tingkah Lisa. Lisa memang peka terhadap hal-hal yang berbeda alam darinya. Lisa memiliki kemampuan khusus untuk itu. "Pak, jalan" Lisa berusaha tampak tenang meski masih tampak aura tegang menyelimuti wajahnya meski sudah masuki mobil. Rian melihat itu. "Safira di sana" Seakan tau maksud Rian, Lisapun akhirnya menjelaskan. Seketika wajah Rian pucat menyadari keadaan yang ada. "Arwah Safira masih penasaran Rian, ini belum genap 40 hari. Dia mungkin masih mengira dirinya hidup dan mengitari kita. aku harap kau berusaha mengikhlaskan kepergiannya dalam arti yang sebenarnya. Dan bisa menjalani hidupmu yang baru dengan lebih tenang" Rian terdiam dan mencerna setiap perkataan Lisa. Lisa benar, demi Safira dan ia yang juga harus melanjutkan kehidupannya.

Sedangkan di sisi lain bandara terlihat bayangan putih yang masih tertawa. Perlahan tawanya berubah menjadi  isak yang diiringi tangis sesegukan, lambat laun elegi jiwa itu tertelan di sisi gelapnya kesunyian malam yang semakin mencekam.

Quotes: Ketika taqdir sudah memisahkan jarak, terimalah dengan ikhlas & tenang agar tidak ada yang terluka.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang