BAB 3

178K 8.2K 82
                                    

READY? VOTE DULU YA:)

500+vote dan komentarnya untuk Bab selanjutnya yaaa

***

"Engh..." Ira mengerang sambil meregangkan tubuhnya karena terasa pegal setelah permainan panas dan penuh gairahnya dengan Alden telah selesai dua jam yang lalu.

Kemudian kedua mata Ira menangkap punggung kekar nan tegap yang terdapat beberapa cakaran itu sedang memunggunginya dan juga terlelap dalam tidur. Selalu seperti ini. Ia dengan Alden tampak serasi dan menggairahkan saat bemain, tetapi kemudian kembali merasa asing saat nafsu keduanya tertuntaskan.

Alden akan terlihat begitu panas dan juga perhatian kala pria itu sedang bermain bersamanya. Setelah selesai, Alden akan bersikap seperti biasa. Datar, dingin, tanpa emosi apapun kepada Ira. Ya, memang dasarnya Alden harus bersikap seperti itu. Mengingat hubungannya dengan Ira hanya sebatas teman tidur.

Jujur saja, Ira membenci itu semua sekaligus menyukainya. Terlebih lagi, Ira tak bisa lepas dari pesona Alden. Pria itu selalu saja mempunyai titik yang mampu membuat Ira tidak bisa menahan hawa nafsunya.

Dan sekarang yang dipikirkan Ira adalah, bagaimana ia bisa menikah dengan Alden sedangkan hubungannya dengan pria itu seperti ini?

Wanita itu beranjak dari tidurnya, melihat jam digital yang berada di atas nakas di samping ranjangnya yang sudah menunjukan pukul 01.00 dinihari. Entah ada apa dengan Ira, ia tidak biasanya selalu terbangun di jam seperti ini. Kecuali jika ia sedang lapar. Tetapi bisa dibilang itu jarang sekali. Dan saat ini, Ira mengalaminya.

Ia turun dari ranjang, mencari pakaiannya tetapi Ira tidak bisa menemukan pakaiannya sendiri. Mungkin Alden melemparnya ke sembarang arah saat bermain tadi. Maka dengan terpaksa Ira mengambil kemeja hitam polos yang berada di bawah ranjang lalu memakainya. Ira juga tidak peduli jika kemeja itu punya Alden.

Perut Ira semakin bergemuruh, meminta untuk segera diisi. Dan ia pun berjalan menuju dapur, kemudian membuka lemari es yang hanya terisi oleh telor dan air putih. Ira juga kehabisan stok mie instan karena ia belum sempat belaja bulanan. Dengan sangat terpaksa, Ira akan membuat omelet untuk mengisi perutnya.

"Lapar?" suara serak dan parau itu membuat Ira terkejut saat ia sedang membuat omelet. "Kenapa nggak bangunin aku?"

"Kamu juga ngapain ikut bangun?"

"Aku dengar suara aneh di dapur. Aku pikir ada apa, eh...taunya kamu," Alden berjalan menghampiri Ira dengan bagian atas tubuhnya terbuka. Sederhananya, Alden hanya memakai boxer.

Sial, Ira tidak bisa fokus jika Alden berpenampilan seperti ini. Apalagi rambut pria itu yang berantakan membuat Alden jauh lebih seksi dan juga tampan.

Fokus Ira...

"Masak apa?" tanya Alden sembari menarik kursi lalu duduk di sana. Hanya meja bar yang memisahkan dapur dan ruang tengah.

"Omelet," jawab Ira singkat. Wanita itu pun melanjutkan masakannya. "Aku nggak bisa masak. Jadi, apa kamu sanggup nikah sama cewek yang nggak bisa masak sama sekali kecuali masak telor?"

"Nggak apa-apa," ucap Alden datar. Pria itu bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Ira lalu kembali berkata, "Kamu duduk aja, biar aku yang masak."

Ira mengernyit. "Kamu bisa masak?"

Pria itu hanya mengedikkan bahunya. "Jauh dari orangtua buat aku harus belajar masak, Ira."

"Bisa ngejamin kalau masakan kamu nggak mengandung racun?" Alden terkekeh geli. "Aku serius."

"Kamu ragu sama keahlian masak aku? Cuman omelet, dua menit juga selesai. Udah sana, duduk, tunggu sampai omeletnya selesai." Perintah Alden yang dituruti oleh Ira.

Wanita itu pun berjalan menuju meja bar dan duduk pada kursi yang tersedia. Kedua matanya tidak bisa berhenti memandangi punggung Alden yang begitu mengindahkan pemandangan di malam hari. Tetapi, saat ia melihat cakaran di sana, Ira meringis. Membayangkan bagaimana perih dan sakit cakaran yang Ira berikan kepada Alden.

"Alden," panggil Ira.

"Hmm..." gumam Alden.

Ira menggigit bibir bawahnya sejenak lalu berkata, "Maaf."

"Untuk apa?" tanya pria itu tanpa membalikkan tubuhnya karena fokus pada masakannya. "Ada garam?"

"Ada di lemari," jawab Ira lalu kembali melanjutkan kalimatnya. "Aku minta maaf. Pasti sakit, ya?"

"Apanya yang sakit?"

"Punggung kamu," balas Ira tak enak hati.

"Oh..." Alden hanya menanggapinya seperti itu.

Dua menit kemudian Alden telah selesai. Pria itu membawakan satu piring yang berisi omelet ke hadapan Ira. Melihat itu, Ira pun bertanya, "Kamu nggak makan?"

"Nggak pernah makan malam kayak gini," jawab Alden jujur. "Kamu lapar banget, ya?"

Ira mengangguk sambil melahap omelet buatan Alden yang sangat lezat. Harus Ira akui, bahwa pria itu benar-benar bisa memasak.

"Anak kita yang minta?" tanya Alden yang membuat kunyahan Ira terhenti.

"Mungkin," balas wanita itu. "Punggung kamu masih sakit? Kayaknya sakit banget, ya? Maaf..."

Alden tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Udah biasa ini. Kamu selalu bikin tanda kayak gini sehabis kita ML."

Ira tidak menanggapinya lagi. Ia sibuk dengan omelet hasil buatan Alden yang kini hanya tersisa sedikit lagi.

"Kamu siapin daftar buat barang seserahan nanti, ya? Terus kasih ke aku," Alden membuka topik baru dalam pembicaraan dengan Ira. "Aku soalnya bingung kalau kamu nggak buat daftar kayak gitu."

"Aku nggak mau nikah sama kamu, Alden. Aku nggak mau," balas Ira seraya bangkit dari duduknya, berjalan menuju wastafel dan mencuci piring kotornya. "Bisa nggak sih kita nggak nikah? Nggak bisa apa tanggung jawab selain nikah?"

"Tapi aku mau kita nikah Ira. Aku nggak mau nantinya anak kita tau kalau kita nggak pernah nikah. Kamu mau anak kita tau kalau dia hasil dari kecelakaan kedua orangtuanya?"

Ira bergeming dan lebih memilih mengambil air dingin dari dalam lemari es dan menuangkan ke dalam gelas lalu meminumnya.

"Ra, nikah sama aku, ya?"

"Kamu nggak cinta sama aku. Aku juga nggak cinta sama kamu. Asal kamu tau ya, nikah, cinta, perasaan, punya anak atau apapun itu yang berhubungan dengan lawan jenis sama sekali nggak pernah ada dalam rencana hidup aku."

"Terus, kenapa kamu mau berhubungan sama aku? Maksud aku, kenapa kamu mau kita berhubungan sebagai teman tidur?"

"Karena aku," Ira terdiam sejenak. "Karena aku yaa... mau mencoba hal ini, Alden. Dari awal juga kita udah sepakat kalau kita cuman teman tidur, nggak lebih."

"Ra..."

"Apa kamu mau nikah tanpa perasaan dan cinta?" tanya Ira kepada pria itu.

"Kalau orangnya kamu, aku mau," jawab Alden datar. "Kalaupun kamu nggak hamil pun, aku tetap mau ajak kamu nikah."

Ira tertawa hambar mendengar itu semua. "Kenapa?"

"Aku nggak akan pernah bisa buat lupain kamu."

"Tanpa cinta? Tanpa perasaan?" Alden mengangguk. "Mustahil, Alden."

Alden bangkit berdiri, menghampiri Ira lalu mencium bibir wanita itu dengan lembut. Seperti biasa, tanpa emosi apapun. "Meskipun aku nggak pernah cinta sama kamu, tetap saja, aku mau nikah sama kamu."

"Ada alasan lain kenapa aku harus nikah sama kamu kalau seandainya aku nggak hamil?"

"Karena aku sadar, kita nggak bisa berhenti buat berhubungan. Meski tanpa cinta."

"Berengsek, kamu," Ira mendorong pelan tubuh Alden.

"Ya, aku emang berengsek. Tapi, kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, kan?"

Percaya diri sekali ini cowok. Tapi, memang iya sih, gue nggak bisa jauh-jauh dari lo. Dan gue nggak tau kenapa.

***

Cold Marriage ✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang