여덟 (Eight)

818 100 11
                                    

Komen ngapa gaez. Diem diem bae.

*
*

Aku mati-matian menahan air mataku sambil berlari menuju halte bus yang agak jauh. Berkali-kali aku nyaris tersandung karena wedges yang menyulitkanku berjalan. Karena kesal, aku melepas wedgesku agar aku bisa berjalan leluasa. Aku ingin segera pulang ke rumah agar bisa cepat tidur dan melupakan seluruh kenangan yang kini mengisi setiap lembar memoriku.

Kenangan itu semakin menguat dan semakin jelas terbayang seiring dengan langkah kakiku. Perlahan-lahan aku melambatkan langkahku, sebelum akhirnya berhenti total ketika aku melewati anak sungai. Bukan sungai Han, tapi disini cukup indah. Namun sayangnya aku tidak sempat memikirkan itu. Aku menangis.

Aku telah melanggar beberapa sumpahku sebelumnya untuk tidak menangis, sampai-sampai kali ini aku tidak berani bersumpah. Dengan lengan bersandar di pembatas besi antara sungai dan jalanan, aku menangis dengan satu tangan menutupi bibir. Orang-orang yang melintas menengok sekilas ke arahku, namun aku tidak memedulikannya.

Kakiku terasa lemas, hingga tangan kiriku harus memegang pembatas agar aku tidak roboh ke tanah. Aku terus menangis, membiarkan luka-luka yang hampir menutup itu terbuka kembali. Membiarkan memori-memori yang usang itu kembali terbuka seperti sebuah album foto. Kelebat peristiwa-peristiwa itu terputar di kepalaku bagaikan film. Semakin lama semakin jelas, serta semakin lebar membuka luka lamaku.

Kelebat-kelebat peristiwa itu memudar seiring sepasang kaki yang berhenti di depanku, pemilik kaki itu menyebutkan namaku dengan tatapan terkejut.

"Kim Sowon?"

*****

Seokjin menyerahkan sebotol air mineral dingin ukuran kecil kepadaku. Aku menerimanya tanpa menatapnya, lalu meminumnya sedikit. Selanjutnya, aku hanya diam sambil menatap anak sungai. Seokjin juga tidak mengatakan apapun. Detik berikutnya, karena ia tidak nyaman dengan situasi ini, Seokjin memulai pembicaraan denganku.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Seokjin, yang kubalas dengan anggukan lemah.

Seokjin menghela napas. "Jadi, ada apa denganmu?" tanyanya lagi.

Aku diam, enggan menjawab. Aku sedang tidak ingin berbicara saat ini. Akhirnya aku hanya menatap anak sungai yang memantulkan cahaya oranye matahari. Aku tidak sadar sudah berada di luar rumah hampir seharian. Sudah genap sembilan jam semenjak aku meninggalkan rumah. Aku berharap Tante Yoona belum pulang dari bekerja. Sampai saat ini aku belum menerima telepon dari Tante Yoona, jadi kemungkinan besar Tante Yoona belum pulang.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku, Sowon," kata Seokjin membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawabnya dengan helaan napas lemah.

"Aku bisa jadi tempatmu bercerita...." kata-kata Seokjin terputus.

"Diamlah!" Aku sama sekali tidak menyadari telah membentak Seokjin. Matanya terbeliak, terperangah. Aku menyadari perbuatanku, kemudian menunduk dalam-dalam sambil tetap mempertahankan posisiku. "Maafkan aku."

Aku bisa merasakan Seokjin menggeleng, kemudian menepuk bahuku. "Kau bisa tenangkan dirimu dulu. Aku akan menunggu."

Aku mengangguk pelan. Beberapa menit penuh keheningan. Hanya terdengar suara orang berjalan, suara sungai dan bunyi derik serangga. Aku mengosongkan pikiranku sebelum bercerita, memastikan memori yang tadi membuka luka lama juga menghilang.

HIDDEN FEELINGS | taehyung.sowonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang