"Waduh, kamu katanya ikut Akademi ini karena Mamamu yang maksa. Tapi kalo dilihat dari papan nilai yang selalu dipajang setiap semester, kamu selalu jadi terbaik kedua. Kamu ini sebenarnya maunya apasi?"
Kanya berdecak pelan, aku terkekeh melihat raut mukanya yang kesal setengah mati."Kalo aku gabisa jadi lima besar terbaik, aku bakalan diusir dari Akademi ini. Kamu tau kalo aku bukan anak pejabat, bukan anak politisi ataupun orang penting lainnya. Aku bisa disinipun karena dapat beasiswa.Makanya meskipun aku gasuka, aku seenggaknya harus bertahan demi Mama."
Tawa Kanya menggelegar, ia berulangkali menepuk bahuku dengan sengaja. Bola mataku berputar kesal, tak sanggup melihat tingkah gilanya setelah mendengar jawabanku.
"Memang anak berbakti ya kamu Sayang, gasanggup aku nahan tawa saking terharunya."
Aku bergidik jijik.Aku tidak tau seberapa lama Kanya tertawa tidak jelas seperti itu. Yang kutau ia tiba-tiba saja berhenti ketika para senior Kutu Busuk satu organisasiku datang menjemputku untuk melakukan ritual akhir pekan yang "menyenangkan".
"Ayolah Alina Sayang, semangat untuk turnamen minggu depan. Jangan lupa bawa pulang piala yaa."
Aku mengangguk, tangan Kanya melambai berpamitan padaku.*
Aku tak bisa berkutik ketika Mama tau bahwa aku tidak lolos di seleksi internal Akademi. Entah dari siapa ia tau informasi itu, yang pasti Mama kemudian memutuskan untuk memantau segala macam kegiatanku diluar Akademi. Aku tak bisa datang ke event kebudayaan yang sering kudatangi, atau pergi melakukan kegiatan sosial seperti biasanya. Mama secara tidak sadar memegang kendali penuh atas diriku. Apa yang harus dan tidak perlu kulakukan.
Pintu kubanting perlahan, tak habis pikir mengapa aku yang harus dikekang seperti ini.
"Kamu itu kalo gasuka sama yang di lakuin Mama harusnya jujur aja. Bilang gasuka, jangan lakuin kalo cuman setengah hati begini." Spontan aku terperanjat kaget, tak menyangka ada orang lain dikamarku.
"kamu kaget ya? hehe" Amarahku rasanya semakin meluap. Fabian terkekeh, dia adalah kakak durhaka yang suka membuat aku merasa bahwa berkelahi adalah cara terbaik untuk memenangkan peperangan mulut antar saudara.
Aku memaksanya keluar. Saat ini aku hanya ingin sendiri. Rasanya berat sekali ketika tau bahwa orang tua tidak bisa dijadikan sandaran untuk meredam berbagai luka, malah mereka menjadi alasan mengapa aku terluka. Mama tak pernah mau mendengarkanku, dan aku tak pernah bisa membantah ucapannya.
Aku melompat untuk berbaring sambil memandangi langit-langit kamar. Besok seharusnya adalah hari paling membahagiakan untukku, aku akan menghadapi usia dua puluh tahun. Namun rasanya selama dua puluh tahun hidupku, tidak ada satupun kenangan membekas yang membahagiakan untukku. Selama ini aku hanya memikirkan kebahagiaan untuk orang lain, sementara diriku tidak pernah menjadi bagian dari kebahagiaaan itu.
Aku ada ditempat yang salah, dan rasanya sudah sangat terlambat untukku mengubahnya.
Alunan musik Nocturne Op 9 dari Chopin menyadarkan lamunanku. Ini adalah kenyataan yang tak bisa kuhindari. Kupandangi lekat poster besar Sarah Chang yang menempel di belakang pintu kamarku. Dia adalah violinist favoritku. Dan jauh dari lubuk hatiku, sejak dulu aku ingin menjadi seperti dia. Sejak dulu, aku menginginkan diriku menjadi bagian dari musik klasik, dan aku ingin biola menjadi satu-satunya alat musik yang membawaku menyelaminya.
Andai saja dulu aku terlahir sebagai seorang violinist, andai saja.
*
kok pendek si? gatau juga pengen aja pendek2 ehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemukus ---- Dream Came True (SLOW UPDATE)
Novela JuvenilAlina tak menyangka bahwa di usia produktif paling ditunggunya ia mendapatkan hadiah kejutan luar biasa dari orang tak dikenal. Ia pikir, dua puluh tahun adalah usia dimana dia akan dicerocoti dengan berbagai hal, terutama dari ibunya yang bersikera...