10. Serba Dilema

16 2 0
                                    

Rani terhenyak melihat Arsid dan Presiden Nurdin berada di tiang gantungan dengan tali gantungan yang siap mencekik leher mereka berdua.

Yang lebih membuat terhenyak lagi, ternyata kedua tiang gantung tersebut saling berhubungan satu sama lain alias tiang satu bisa mempengaruhi tiang yang lain. Itu bisa dilihat dari wujud tali yang paralel yang tersambung dari tiang yang satu ke tiang yang lain.

Artinya, jika Rani mencoba membebaskan Arsid, maka besar kemungkinan Presiden Nurdin lah yang akan tewas. Begitupun sebaliknya.

Rani dan teman-teman pun dalam keadaan dilema. Membebaskan Arsid atau Presiden Nurdin?

Sedangkan Jester yang sudah siuman dan dibawa oleh Adi ke lokasi dua tiang gantungan tersebut, tertawa terbahak-bahak puas dengan hasil permainannya.

"Hahaha, kalian tidak akan bisa membebaskan dua orang itu sekaligus. Pasti salah satunya akan mati. Pilih saja, membunuh teman sendiri yang mantan presiden atau membunuh presiden yang masih menjabat!" Jester terbahak-bahak membuat Rani ingin rasanya memecahkan kepala orang itu.

"Bajingan! Cepat katakan bagaimana caranya kami membebaskan mereka berdua!" Rani mengancam Jester dengan sebatang anak panah yang bisa saja dengan mudah ia tancapkan ke leher penjahat itu.

"Tidak ada cara lain. Hahaha..." Jester menukas sambil tertawa dengan puas.

Brakkkkk,

Amel menendang dagu Jester yang saat itu dalam posisi duduk di atas tanah hingga terjengkang.

Jester meringis sejenak kemudian mengusap darah yang meleleh di bibirnya. Sambil menggeleng ia terkekeh.

"Pikirkan saja sendiri bagaimana cara membebaskan mereka. Jangan libatkan aku. Percayalah aku hanya bisa memasang jebakan tapi tidak bisa membongkarnya," tutur Jester membuat Amel yang sedang kesal terhadapnya semakin menjadi-jadi saja.

"Teh, jangan mengedepankan amarah. Kita harus tetap tenang," pinta Rani sembari mencegah Amel kembali menghajar Jester.

"Dia sengaja bermain-main dengan kita, teh. Aku tidak bisa membiarkannya berbuat seenaknya!" Nafas Amel terdengar berderu pertanda kemarahannya sedang tinggi.

Sedangkan di dekat tiang gantungan tampak Adam berdiri di antara anak-anak buah Jester yang bergelimpangan. Ia tampak berpikir keras untuk melepaskan Arsid dan Presiden Nurdin dari tiang gantungan.

"Aku kehabisan daya untuk terbang. Adi tidak bisa menggunakan jetpack yang sudah hancur. Ini benar-benar sangat buruk," gumam Adam sambil meninju ke kiri ketika ada seorang anak buah Jester yang mencoba menyerangnya kembali.

"Bebaskan saja Pak Presiden," ujar Arsid membuat Adam tercengang. "Aku tidak masalah jika harus mati. Yang penting Pak Presiden selamat," tambahnya.

"Saya tidak butuh diselamatkan, Pak Arsid. Saya sudah pernah mengecewakan anda sampai anda harus tersingkir dari jabatan presiden. Apa pantas saya masih dibela anda?" ucap Presiden Nurdin sambil melirik ke arah Arsid dengan tegar.

Rambut Presiden Nurdin yang memutih tersebut terlihat kotor oleh serpihan tanah dan material. Begitupun dengan pakaiannya yang sangat kumal dan dekil.

"Saya tersingkir dari jabatan bukan karena anda, Pak Presiden. Mereka yang membuat deklarasi #20xxArsidHarusTersingkir lah yang memiliki andil besar. Tapi saya tidak dendam terhadap mereka. Sekarang kebanyakkan dari mereka masuk penjara karena dituduh makar, bukan?" kata Arsid.

"Untuk yang satu itu aku juga turut bersyukur. Mereka memang pantas mendapatkannya," tukas Presiden Nurdin.

"Anda harus tetap hidup, Pak Presiden. Jangan sampai rakyat kehilangan presidennya gara-gara maniak busuk itu. Percayalah, teman-teman saya pasti akan menyelamatkan anda," ucap Arsid seraya memberi isyarat kepada Adam untuk segera membebaskan Presiden Nurdin.

"Tunggu dulu!" teriak Nindy yang tampak tergopoh dengan mengenakan sprei sebagai pembalut tubuhnya.

"Kau tidak akan bisa berkelahi dengan kostum seperti itu," ujar Arsid.

"Aku tidak sedang berkelahi. Aku ingin menyelamatkan kalian berdua," ucap Nindy dengan lantang sambil mengacungkan harpoon dengan pisau di ujungnya.

"Percuma saja, Nindy. Arahkan saja ke tali pak presiden, dan Adam akan menangkapnya di bawah," kata Arsid dengan tenang meski dalam kondisi lehernya siap tercekik tali.

"Tidak. Bebaskan saja Arsid. Aku tidak butuh jabatan presiden dari hasil deklarasi segelintir manusia fanatik. Kau tahu, mantan presiden Ridwan Kamil adalah presiden tersabar yang pernah ada meski sering diterpa isu-isu tidak benar soal dirinya. Sayangnya aku tidak bisa sepertinya," ucap Presiden Nurdin sambil tersenyum pahit.

"Hentikan omong kosongmu itu, Pak Presiden. Hei Nindy, cepat putuskan tali yang mengantung Pak Presiden. Jika kau berlama-lama maka tidak akan ada yang selamat di antara kami berdua!" gertak Arsid membuat yang lain tercengang.

"Hahaha, dia benar. Aku memang memasang timer di antara kedua tiang gantungan itu. Sekarang waktunya tinggal 30 detik lagi. Hahaha...." Kali ini Jester menukas membuat perhatian Rani dan yang lain terarah kepadanya.

Rani dengan segera melompat ke arah Nindy, merebut harpoon kemudian menembakkannya ke tali yang menggantung ke leher Presiden Nurdin.

Tali yang menggantung Presiden Nurdin pun terputus disusul  tubuh Arsid yang tergantung tanpa bisa menyelamatkan diri karena kedua tangannya terikat di belakang.

Namun tiba-tiba sebuah benda yang diyakini adalah bumerang mendesing kemudian memutus tali yang menggantung Arsid. Akhirnya Arsid pun jatuh berdebum ke atas tanah.

Sementara Presiden Nurdin berhasil diselamatkan Adam menggunakan lengan besinya yang kokoh.

Bumerang tersebut kembali ke pemiliknya yaitu seseorang yang baru saja tiba. 

Semua mata pun tertuju pada orang tersebut. Seorang laki-laki yang mengenakan jas panjang berwarna krem dan celana panjang hitam dengan sepatu pantofel.

Mata kiri laki-laki tersebut tertutup oleh penutup mata berwarna hitam. Segera semua orang mengetahui jika dia adalah Alfred Nagato, penjahat yang sebelumnya dikalahkan oleh Arsid dan timnya.

"Alfred?" gumam Amel sambil memasang sikap waspada.

"Amel, kau tidak perlu takut. Aku tahu kau adalah orang yang paling berjasa menghilangkan mataku yang sebelah kiri. Percayalah, aku bukan pendendam seperti yang kau pikirkan," ujar Alfred seraya berjalan ke arah kelompok Rani diikuti todongan senjata dari semuanya.

Alfred mengangkat kedua tangannya.

"Aku tidak berniat untuk melawan kalian lagi. Percuma saja karena kalian terlalu lemah untuk melawanku," sindir Alfred seraya meneruskan melangkah ke arah dua tiang gantungan yang kini sudah kosong.

Arsid yang baru bangkit dari jatuhnya menatap tajam ke arah Alfred.

"Apa yang kau inginkan?" Arsid berkata sambil menyeka darah yang meleleh di bibirnya pasca berdebum ke tanah.

"Kerjasama menyingkirkan Shojiro Practice untuk selamanya," tukas Alfred tenang.

-Bersambung-

Sang Penjaga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang