15. Strategi

10 1 0
                                    

Bandung, Malam hari.

Rani berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan setapak di pinggir sungai itu. Sementara di belakangnya seorang laki-laki asing terlihat membuntutinya.

Rani sudah dapat menduga jika orang yang membuntutinya adalah salah seorang agen pembunuh yang dikirim Shojiro Practice untuk melenyapkannya. Rani dapat mengukur kemampuan orang tersebut hanya dari caranya berjalan membuntutinya.

Beberapa saat kemudian, Rani tiba di ujung jalan yang tepat berada di samping lereng yang mengarah ke bawah sungai.

Di sana Rani berhenti kemudian membalikkan badan menghadap ke arah orang tersebut.

"Aku pikir langkahku lebih cepat dari larinya zebra yang sedang diuber buaya." Rani menatap sinis. "Karda Suharno, tidakkah kakimu keram karena menguntitku terus-menerus?"

"Maharani Purnamawati, sang penjaga malam. Sedang apa malam-malam di pinggir jembatan? Sedang mencari pelanggankah?"

"Tidak sopan! Aku tidak perlu melakukan itu. Aku sudah mempunyai penghidupan."

"Begitu ya? Kalau begitu, ayo kita bicara."

"Memangnya ada yang perlu kau bicarakan kepadaku? Bukankah tugasmu melenyapkanku?"

"Ah, itu tugas utamaku. Tugas lainnya membuka mulutmu lebar-lebar."

Rani mendecih. Pasti orang di depannya ingin mengorek keterangan darinya mengenai rekan-rekannya sesama vigilante.

"Kau mempunyai apa hingga berani bicara begitu kepadaku?" ucap Rani sambil menatap sinis.

"Segalanya. Dari yang receh hingga prestisius. Kau tahu bukan aku tidak suka main-main."

"Tentu saja aku tahu. Kau memang tidak suka-suka main-main. Termasuk membunuh ayahku melalui tanganku. Aku jadi ingin tahu apa yang selanjutnya akan kau lakukan terhadap keluargaku."

"Nah, itu kau tahu. Masih berani melawanku?" Karda menatap Rani dengan tatapan mengejek.

"Kenapa tidak? Kau masihlah manusia, bukan Tuhan. Kita sama-sama membutuhkan makan dan minum, kenapa aku harus takut kepadamu?"

"Hahahaha, lucu sekali. Kau tidak mempertimbangkan kekalahanmu nanti?"

"Aku tidak perlu mempertimbangkan kekalahan. Apalagi mempertimbangkan orang yang kalah." Rani balik menatap Karda sembari tersenyum mengejek.

"Kau!" Karda tertegun ketika merasakan kedua kakinya tidak dapat digerakkan.

"Untuk apa susah-susah berkelahi seperti di film-film aksi jika ada kiat rahasia ini," ucap Rani seraya berbalik kemudian pergi.

Tiba-tiba terdengar suara berdebum keras di belakangnya. Rani hanya menoleh sedikit seraya berlalu.

"Yapp, satu ancaman telah pergi. Ancaman lainnya apakah itu gerangan?" gumam Rani seraya melangkahkan kedua kakinya. "Terima kasih Nindy, taringmu ternyata tidak dapat dianggap remeh."

---------------------

Kayara, Banten Selatan

Sore temaram di sebuah kota kecil pinggiran Kayara. Di dalam sebuah bangunan semi lapuk, tampak Jester sedang duduk santai sembari membentangkan kartu-kartu pokker di hadapan Matsasi dan Megumi.

"Anggap saja kita sedang taruhan. Aku menang maka aku bebas, kalian menang aku boleh kalian bawa menghadap Shojiro," ucap Jester dengan nada dalam.

"Kau memang cerdik, jon. Kau tahu kelemahan kami yang tidak suka berjudi ini," tukas Matsasi.

Jester terkekeh. "Untuk menjadi villain terkuat kalian harus bisa segala hal termasuk berjudi di samping memiliki kemampuan menebak kebohongan."

"Juga pandai merayu, bukan." Kali ini Megumi yang menukas.

"Itu kemampuanmu? Aku rasa tidak. Kau tidak pernah berani membuka seluruh pakaianmu." Jester menatap genit ke arah Megumi yang kini hanya mengenakan atasan tanktop warna pink dan celana dalam berwarna hitam.

"Tentu saja aku berani!" Megumi bangun dari duduknya kemudian membuat tanktopnya.

"Itu kecil sekali. Kau belum pernah disentuh lelaki, huh?" Jester terkekeh menyaksikan Megumi yang nekat telanjang di depannya.

"Sebaiknya hentikan itu, Megumi. Percuma saja kau telanjang. Dia homo," kata Matsasi seraya membanting kartu ke atas meja. "Sial, aku memang tidak bisa berjudi!"

"Hahaha, aku tidak homo, aku hanya tidak tertarik terhadap perempuan liar. Itu saja." Jester menyodorkan kartunya ke atas meja. "Kena kau!"

"Tapi sayangnya kami tetap tidak akan membiarkanmu pergi." Matsasi berdiri seraya menggenggam pinggangnya.

Jester terkekeh. "Oh, ya. Ini akan menarik."

Megumi yang dalam posisi di samping Matsasi tampak waspada seraya bersiap menyambar sepucuk Ingram di belakangnya.

"Jika ini yang kau inginkan, maka kau akan mendapatkannya, Jonathan Harma!" Matsasi tampak posisi siap menyerang.

"Tenang saudara-saudara, yang kuinginkan hanya bebas pergi bukan menumpahkan nasi yang sudah ditelan. Lagipula aku pemenangnya, kan?" Jester tampak tenang dalam posisi duduknya seraya mengadukan kedua telapak tangannya.

"Kau menang karena kami bukan pejudi! Sebaiknya kita lakukan permainan yang kita sama-sama mahir terhadap itu." Matsasi menatap sinis ke arah Jester.

"Ssssttt, permainan telah berakhir. Tidak ada lagi permainan." Jester bangkit dari duduknya.

Tiba-tiba Matsasi menyerangnya dengan gencar dan hampir pasti tidak dapat dihindari oleh Jester. Ditambah lagi Megumi turut menyerang dengan serangan yang sama gencarnya.

Buk, buk, bukk

deg, dug, dig, deg

Brukkkk

Jester terkena hantaman dua penyerang ahli martial art itu hingga terjengkang menabrak tembok.

"Hahaha, aku memang salah menyulut sumbu kompor seperti kalian," ucap Jester dalam posisi terduduk setelah menabrak tembok.

"Jangan tertawa! Nyawamu habis di sini!" gertak Matsasi.

"Matsasi, bos menyuruh kita membawanya hidup-hidup." Megumi mengingatkan Matsasi.

"Aku tidak mengatakan aku akan membunuhnya," tukas Matsasi.

Jester dengan terhuyung-huyung bangkit dari posisi terduduknya.

"Kuakui aku memang bukan ahli bela diri. Aku adalah ahli strategi dan kalian menafikan hal itu." Jester tersenyum menang.

Matsasi dan Megumi serempak mundur ketika mencium bau gas menyengat memasuki ruangan sempit itu. Bau gas tersebut disusul oleh munculnya asap pekat berwarna lime.

Sedangkan Jester sudah mengenakan masker anti gas beracun. Selanjutnya ia keluar dari ruangan itu ketika asap pekat memenuhi seluruh ruangan.

"Dunia, aku datang. Hahahaha," ucap Jester dengan suara lantang seraya terbahak-bahak.

Sementara Megumi dan Matsasi bertumpukkan di bak mandi yang penuh dengan air. Mereka berusaha menghindari kabut asap gas beracun yang sempat membuat mereka hampir sekarat.

"Jester keparat! Tunggu perhitungan dariku!" geram Matsasi di dalam air.


-Bersambung-


Sang Penjaga MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang